Jumat, 30 Juli 2010

KEJAHATAN BIDANG KEHUTANAN: (JENIS DAN KEBIJAKAN KRIMINAL)

*Oleh: Dr. Hermansyah, SH.Mhum.**
Secara sederhana kiranya dapat dikatakan semua kejahatan yang berhubungan secara langsung dengan hutan adalah kejahatan bidang kehutanan yang cukup banyak jenis dan ragamnya. Hanya memang dalam kenyataannya masyarakat hanya mengenal ”illegal logging” Psebagai satu-satunya bentuk kejahatan dalam bidang kehutanan. Hal ini bisa saja dipahami, jika yang dimaksud dengan”Illegal Logging” tersebut adalah semua bentuk kejahatan yang ada dalam bidang kehutanan. Namun jika hal tersebut dipahami dalam arti yang sempit, yaitu hanya terbatas penebangan liar saja, maka hal ini keliru. Karena sesungguhnya kejahatan dalam bidang kehutanan tidak hanya bentuknya ”illegal logging” semata-mata, tetapi terdiri dari berbagai bentuk kejahatan seperti: penebangan yang dilakukan tidak berdasarkan Rencana Kegiatan Tahunan (RKT), Penebangan terhadap jenis pohon yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan, penebangan di luar target, penebangan tidak membayar IHH, serta re-logging.[1]
Bahkan menurut Rahmi Hidayat, kejahatan dalam bidang kehutanan terdiri dari: 1.pembalakan (logging) spesies yang dilindungi, 2.pemalsuan dokumen pemanenan kayu, 3.melakukan kontrak dengan oknum pengusaha local untuk mebeli kayu dari kawasan yang dilindungi, 4. pembalakan kayu dalam kawasan lindung, 5. pembalakan kayu diluar batas konsensi, 6. pembalakan kayu di dalam areal yang dilarang untuk ditebang, 7. pemungutan kayu melebihi ijin yang diperkenankan, 8. pembalakan kayu tanpa ijin, 9. mendapatkan konsensi melalui proses yang illegal, 10. pengangkutan kayu tanpa ijin, 11. penyelundupan kayu, 12. ekspor dan impor spesies pohon yang dilarang oleh perjanjian internasional seperti CITES, 13. menyatakan nilai dan volume ekspor kayu lebih rendah daripada yang sebenarnya, 14. mengabaikan hukum lingkungan, social dan tenaga kerja dalam apengelolaan hutan, 15. penggunaan kayu yang diperoleh secara illegal dalam proses industri[2].
Kejahatan Bidang Kehutanan: Perspektif Anatomi
Jika dicermati secara seksama, maka akan terlihat jelas perbedaan antara kejahatan pada umumnya (man in the street crime) dengan kejahatan yang terjadi dalam bidang kehutanan, terutama dalam hal ini illegal logging. Perbedaan tersebut tidak hanya pada aras motiv yang melatarbelakanginya, tetapi juga para pihak yang terlibat dalam kejahatan serta cara atau modus operandi dilakukannya illegal logging tersebut. Setidaknya ada lima wajah atau anatomi illegal logging sebagai sebuah kejahatan, yaitu pertama kejahatan ekonomi (economic crime), kedua kejahatan korporasi (corporate crime), tiga kejahatan yang terorganisir (organized crime), keempat kejahatan tersebut dilakukan oleh mereka-mereka yang memiliki kedudukan dan peran yang dinilai oleh masyarakat sebagai orang yang terhormat (white color crime) serta kelima kejahatan illegal logging memperlihatkan nuansa kejahatan internasional (international crime). Kelima wajah tersebut dalam kenyataannya menyatu yang merupakan cirri khas dari dari kejahatan dalam bidang kehutanan. Gambaran menyatunya wajah kelima wajah kejahatan dalam bidang kehutanan seperti di bawah ini:
Anatomi kejahatan seperti tersebut di ataslah yang kiranya menyebabkan illegal logging relative sulit untuk diberantas, karena tidak hanya persoalan bagaimana hokum tersebut harus ditegakkan, tetapi menyangkut banyak masalah seperti keterlibatan para aparat penegak hokum, pelakunya tidak hanya orang perseorang tetapi melibatkan korporasi dan para pejabat yang dinilai memiliki kedudukan yang terhormat dalam masyarakat sebagai pelakunya, system yang rapi dan terencana dengan baik sehingga siapa sesungguhnya yang menjadi “actor intellectual” sulit untuk diketahui, bahkan keterlibatan warga negara atau negara asing dalam aktivitas illegal logging hampir merupakan keniscayaan, mengingat kondisi geografis Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan negara tetangga (Melaysia). Kondisi tersebut manjadikan aktivitas illegal logging sulit dilakukan pemberantasan.
1. Economic Crime
Dalam perspektif normative-positivistik,[3] suatu kejahatan baru dikatakan sebagai kejahatan ekonomi, jika perbuatan tersebut oleh undang-undang sendiri dikatagorikan sebagai kejahatan ekonomi. Sepanjang suatu perbuatan tidak diklasifikasi atau dikualifikasi sebagai kejahatan ekonomi, maka perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai kejahatan ekonomi.
Pendekatan normative-positivistik ini pada satu sisi memang penting, karena dengan diklasifikasi atau dikatagorikannya suatu perbuatan sebagai kejahatan atau tindak pidana ekonomi, maka beberapa bangunan hokum yang merupakan pengecualian dalam hokum pidana bias diterapkan. Cara pandang seperti ini oleh banyak kalangan dirasakan tidak memadai ketika melihat berbagai kejahatan dari perspektif motiv dilakukannya suatu kejahatan.[4]
Jika dilihat dari motiv, nuansa ekonomi yang melatarbelakangi dilakukannya illegal logging terlihat jelas, karena illegal logging dilakukan dalam kerangka kegiatan ekonomi yang pada dasarnya bersifat normal dan sah. Bahkan perbuatan tersebut dinilai telah melanggar atau merugikan Negara dari sisi pendapatan yang seharusnya bias diperoleh melalui pajak atau retribusi yang seharusnya diperoleh dari suatu aktivitas.
Pada hal kejahatan ekonomi adalah salah satu jenis kejahatan yang dipandang sangat berbahaya, bahkan masyarakat internasional juga telah mengakui kejahatan ekonomi adalah salah satu kejahatan yang perlu diwaspadai, hal ini terlihat dalam Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New International Economic Order, yang tertuang pada saat The Sevent United Nations Congress ont the Prevention of Crime and The Treatment of Offender di Milan Italy pada tahun 1965. Bahkan Prof. Khaleeq Naqvi, seorang Guru Besar Politik Ekonomi Universitas New Delhi, pada Kongres PBB ke-5 di Geneva pada tahun 1975 telah mensinyalir adanya peningkatan yang sangat berarti terhadap kejahatan ekonomi ini, dengan mengatakan bahwa: Offences against the economy had increased significantly in the recent past and had become the most important component of the national crime situation, particularly in the developing countries. [5]
Berbahayanya kejahatan ekonomi ini dikarenakan jika dilihat dari karakteristiknya sangat berbeda dengan kejahatan pada umumnya, perbedaan tersebut misalnya adanya penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan (disquise of pupose or intent), adanya keyakinan sipelaku terhadap kebodohon dan kesemberonoan si korban (reliance upon the ignorance or carelessness of the victim), kemudian adanya penyembunyian pelanggaran (concealement of the violation).[6]
2. White Collor Crime ( WCC)
Seperti apa yang telah diuraikan di atas, bahwa illegal logging sebagai sebuah kejahatan memperlihatkan anatomi yang berbeda dengan kejahatan pada umumnya, di mana salah satunya adalah kejahatan tersebut bernuansakan White color crime (WCC). Seperti diketahui bahwa untuk pertama kalinya istilah ini dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland pada tahun 1939 dihadapan American Sosiological Society. Sutherland membuktikan bahwa White Collor Crime (WCC) merupakan suatu kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat dan memiliki status sosial yang tinggi dalam pekerjaannya. Sejak saat itulah banyak para sarjana yang memberikan perhatiannya kepada jenis kejahatan ini dan salah satunya adalah Clinar dan Yeager.
Menurut Clinard dan Yeager White Collor Crime terdiri dari dua jenis yaitu : Occupational Crime dan Corporate Crime. Ocuupational Crime ( Kejahatan yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan), sebagian besar dilakukan oleh individu atau kelompok-kelompok kecil individu dan berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan. Adapun yang termasuk kejahatan Ocuupational adalah pelanggaran-pelanggaran hukum dilakukan oleh pengusaha, politisi pimpinan serikat buruh, pengacara, dokter, apoteker, akuntansi. Sedangkan kejahatan korporasi (corporate crime) dilakukan secara kolektif atau kumpulan individu dari berbagai bidang. Untuk dapat dikatakan sebagai kejahatan koporasi jika pejabat korporasi melakukan perbuatan pelanggaran hukum untuk kepentingan korporasi. Hal ini yang membedakannya dengan kejahatan occupational dimana pelaku melakukan kejahatan untk keuntungan pribadinya.[7]
Berbicara tentang pelaku White Collor Crime, maka dapat dikatakan bahwa mereka merupakan penjahat-penjahat yang tidak mudah ditundukkan. Penjahat-penjahat tangguh itu terdiri dari dua kelas yaitu; pertama, yang tak tersentuh ( untouchable) yaitu para pelaku kejahatan yang dalam kenyataannya benar-benar berada di atas hukum ( above the law) seperti para penguasa-penguasa korup yang masih berkuasa kedua yang tak terjangkau ( unreachhable) termasuk dalam kategori ini adalah para pelaku kejahatan yang berkekuasaan ( formal atau informal ) yang cukup tinggi dan sangat sulit dijangkau hukum.
Menurut Laura Snider karakter dari White Collor Crime dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pelanggaran hukum yang dilakukan merupakan bagian yang terkait erat dengan jabatan resmi yang merupakan instrumen pokok yang memungkinkan kejahatan dapat terlaksana.
2. Melibatkan pelanggaran terhadap kepercayaan yang diberikan dan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan tersebut merupakan viola of public trust yaitu pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Dalam kaitannya dengan kasus illegal logging diketiga kabupaten ini, tampak bahwa pelanggaran terhadap kepercayaan yang diberikan masyarakat dilakukan oleh oknum pejabat pada instansi tertentu yang ikut terlibat dalam kasus illegal logging dimaksud.
3. Tidak ada paksaan fisik secara langsung, kendati kerugian negara sangat besar.
4. Tujuannya adalah uang, prestise dan kekuasaan.
5. Terdapat pihak-pihak yang diuntungkan dari kejahatan tersebut.
6. Adanya upaya untuk menyamarkan kejahatan yang dilakukan dan adanya upaya untuk mencegah diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku.[8]
Praktek illegal logging yang dilakukan secara bersama-sama oleh para pejabat dari instansi tertentu, pemilik modal dan anggota masyarakat telah memenuhi karakteristik tersebut di atas, sehingga sangat sulit untuk diungkap, jika terungkap yang tertangkap hanya warga masyarakat yang melakukan penebangan, sedangkan oknum pejabat dan pemilik modal yang memback-up kegiatan tidak pernah terungkap selain itu terhadap praktik illegal logging yang merupakan White Collor Crime ini penindakkannya juga masih bersifat tebang pilih, adanya indikasi telah terjadinya kolusi antara pelaku dengan aparat penegak hukum sangat kuat sehingga penegakan hukum terhadap praktik illegal logging tidak terlaksana secara maksimal.
Dalam mengungkap dan memproses praktik illegal logging perlu keahlian yang diiringi dengan keberanian dan komitmen moral dari aparat penegak hukum. Hal tersebut diperlukan karena yang dihadapi nantinya bukan hanya warga masyarakat yang menebang hutan saja, tetapi juga tokoh-tokoh yang sulit terjangkau oleh hukum. Kuatnya pengaruh dari tokoh-tokoh yang tak terjangkau oleh hukum inilah yang akhirnya mengakibatkan timbulnya putusan bebas bagi beberapa pelaku illegal logging di Kalimantan Barat. Oleh sebab itu dalam menangani praktik illegal logging perlu koordinasi yang solid dari berbagai instansi.
3. Organized Crime
Keberadaan kejahatan terorganisir (organized crime) dalam masyarakat dewasa ini sudah menjadi kenyataan, diorganisasinya kejahatan terjadi ketika kejahatan sebagai obyeknya tidak lagi dipandang sebagai bentuk prilaku menyimpang (deviance), tetapi merupakan suatu tujuan dalam pencapaian hidup manusia seperti tujuan ekonomi.
Yang menarik dari kejahatan terorganisir ini adalah ciri dan bentuknya yang berbeda jika dibandingkan dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang perseorang. Salah satu ciri dari kejahatan terorganisir (organized crime) ini adalah adanya struktur hirarki yang menunjukkan semacam rantai komando dalam melakanakan tujuan dan adanya perencanaan yang ekstensif di segala bidang, semisal rencana operasi, manajemen personalia. Upaya pencipataan hubungan dengan berbagai tokoh, mulai dari tokoh politik, para aparat penegak hokum sampai pada hubungan dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Karena sifat hubungannya hirarkis, maka biasanya eselon atau orang yang menduduki posisi yang tinggi, dalam hal ini para cukong, biasanya mempunyai kekebalan hokum. Kekebalan hokum ini diperolehnya karena penyuapan yang dilakukannya terhadap para aparat penegak hokum yang merupakan bagian dari kejahatan itu sendiri serta adanya tekanan politis dari para tokoh politik/pemerintahan guna melindungi cukong sebagai orang yang dianggap menduduki posisi tertinggi tersebut.
Tidaknya hanya itu, dalam melakukan aktivitasnya, hubungan antara satu orang dengan orang yang lain biasanya dijalin dalam hubungan yang rahasia (secrecy), bahkan dalam hal tertentu bisa saja hubungan antara satu dengan yang lainnya tidak saling menenal (missing link) dan ini memang diciptakan guna kelangsungan dari aktivitas tersebut.
4. Transnational (Organized) Crime
Jika dicermati kejahatan dewasa ini terlihat adanya perkembangan yang luar biasa, mulai dari motiv, cara atau modusnya serta locusnya. Kejahatan dewasa ini tidak hanya dilakukan sebatas wilayah territorial suatu Negara, melainkan sudah melampaui batas satu atau banyak Negara (transcend beyond territorial borders), cara seperti ini biasanya lebih dikenal dengan istilah “transborders crimes” atau “transnational crimes”.
Illegal logging adalah salah satu kejahatan yang memperlihatkan nuansa kejahatan transnasional disamping kejahatan lainnya seperti penyelundupan (smuggling), perdagangan wanita/manusia (women trafficking) dan kejahatan lainnya. Dikatakan sebagai kejahatan transnasional karena aktivitas illegal logging sering melibatkan lebih dari satu negara, baik dalam pengertian persiapan, perencanaan, pengawasan maupun dampak yang ditimbulkannya.[9]
Keterlibatan negara Malaysia dalam aktivitas illegal logging yang ada di Indonesia, terutama dalam hal di Kalimantan Barat, jelas terlihat. Modus yang digunakan oleh negara/pejabat Malaysia sebagai bentuk keterlibatannya dalam proses illegal logging ini adalah dengan melakukan proses pencucian kayu illegal yang berasal dari Kalimantan. Semua kayu yang berasal dari Kalimantan, baik yang memimiliki Surat Keterangan Sah Hasil Hutan (SKSHH) maupun yang tidak (kayu yang diperoleh secara illegal), oleh pemerintah/pejabat yang ada di Malaysia dibuatkan dokumen resmi dari Malaysia yang isi dokumen tersebut menyatakan bahwa semua kayu yang ada di Malaysia tersebut berasal dari hutan Malaysia, untuk kemudian berdasarkan surat atau dokumen resmi tersebut semua atau sebagian kayu tersebut dieksport kembali ke negara lain seperti Jepang, Amerika dan beberapa negara Eropah lainnya.
Sikap Malaysia yang secara terang-terang mengeluarkan dokumen resmi yang menyatakan bahwa semua kayu yang ada di Malaysia berasal dari hutan mereka, dalam perspektif kriminologis, jelas menjadi penyebab atau mendorong terjadi dan illegal logging di Kalimantan Barat, karena secara tidak langsung kebijakan tersebut seakan membuka pasar gelap bagi kayu-kayu tersebut. Apalagi mengingat batas antara Kalimantan Barat dengan Negara Malaysia tidak terlalu jauh. Secara diagram keterlibatan warga negara/Negara Malaysia dalam aktivitas illegal logging di Kalimantan Barat adalah sebagai berikut:
Anatomi kejahatan seperti tersebut di ataslah yang kiranya menyebabkan illegal logging relative sulit untuk diberantas, karena tidak hanya persoalan bagaimana hukum tersebut harus ditegakkan, tetapi menyangkut banyak masalah seperti keterlibatan para aparat penegak hukum, pelakunya tidak hanya orang perseorang tetapi melibatkan korporasi dan para pejabat yang dinilai memiliki kedudukan yang terhormat dalam masyarakat sebagai pelakunya, system yang rapi dan terencana dengan baik sehingga siapa sesungguhnya yang menjadi “actor intellectual” sulit untuk diketahui, bahkan keterlibatan warga negara atau negara asing dalam aktivitas illegal logging hampir merupakan keniscayaan. Apalagi mengingat kondisi geografis Indonesia, khususnya Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan negara tetangga (Melaysia). Hal-hal seperti inilah yang kiranya menjadi penyebab sehingga aktivitas illegal logging sulit diberantas oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, meskipun sudah dibantu oleh lembaga lain seperti Polisi Khusus (Polsus) bidang kehutanan yang ada di Departemen Kehutanan.
Pemberantasan Kejahatan Bidang Kehutanan:Politik dan Strategi
Menyadari akan rumit dan kompleksnya illegal logging sebagai sebuah kejahatan, maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredaranya di seluruh Indonesia. Keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 ini tentunya didasari pada kenyataan bahwa penegakan hukum bidang kehutanan tidaklah dapat dilakukan secara konvensional yang hanya tertumpu pada Kepolisian sebagai aparat penegak hukum. Karena dalam melaksanakan fungsinya sebagai penegak hukum, aparat kepolisian menemui berbagai kendala yang sangat berarti, misalnya kurangnya aparat di lapangan, terlibatnya para anggota TNI dalam aktivitas tersebut dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, Presiden pada 18 Maret 2005 telah menginstruksikan kepada 18 instansi untuk mempercepat pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya dengan melakukan penindakan kepada orang atau badan yang terlibat. Adapun ke 18 instansi yang terlibat secara langsung dalam proses penegakan hukum bidang kehutanan adalah sebagai berikut: (1) Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; (2) Menteri Kehutanan; (3) Menteri Keuangan; (4) Menteri Dalam Negeri; (5) Menteri Perhubungan; (6) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; (7) Menteri Luar Negeri; (8) Menteri Pertahanan; (9) Menteri Perindustrian; (10) Menteri Perdagangan; (11) Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; (12) Menteri Negara Lingkungan Hidup; (13) Jaksa Agung; (14) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; (15) Panglima Tentara Nasional Negara; (16) Kepala Badan Intelijen Negara; (17) Para Gubernur; (18) Para Bupati/Walikota;
Adapun tujuan dari dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 ini diantaranya adalah :
1. Melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan:
a. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
b. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
c. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu.
d. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
e. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
2. Menindak tegas dan memberikan sanksi terhadap oknum petugas dilingkup instansinya yang terlibat dengan kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
3. Melakukan kerjasama dan saling berkoordinasi untuk melaksanakan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
4. Memanfaatkan informasi dari masyarakat yang berkaitan dengan adanya kegiatan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya.
5. Melakukan penanganan sesegera mungkin terhadap barang bukti hasil operasi pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia dan atau alat-alat bukti lain yang digunakan dalam kejahatan dan atau alat angkutnya untuk penyelamatan nilai ekonomisnya.
a. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan:
Dilibatkannya kementerian koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan dalam pemberantasan illegal logging adalah dalam rangka:
a. Mengkoordinasikan seluruh instansi terkait sebagaimana dalam Instruksi Presiden ini dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
b. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melaksanakan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia atas pelaksanaan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya secara periodik setiap 3 (tiga) bulan, kecuali pada kasus-kasus yang mendesak.
Fungsi koordinasi ini diperlukan karena Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredaranya di seluruh Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan sistem yang digunakan oleh pemerintah dalam penegakan hukum bidang kehutanan. Dikatakan demikian karena di dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 melibatkan berbagai sistem lainnya yang di integrasikan secara terpadu agar upaya pemberantasan kehutanan dapat memperlihatkan hasil yang diharapkan. Dan agar pendekatan sebuah sistem dapat berjalan maka dibutuhkan adanya koordinasi antara instansi yang terlibat dalam penegakan hukum tersebut. Karena koordinasi menurut Mc. Farland,[10] adalah suatu proses di mana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama. Sehingga dengan adanya koordinasi diharapkan dapat dilakukannya pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien.
b. Menteri Kehutanan:
Secara sektoral, kewajiban dan tanggungjawab penegakan hukum bidang kehutanan ada pada Departemen Kehutanan, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh organ yang ada pada departemen kehutanan tersebut seperti Polisi Khusus bidang kehutanan. Namun demikian, Departemen Kehutanan bukanlah satu-satunya lembaga penegakan hukum bidang kehutanan, karena dengan menggunakan pendekatan sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) ada lembaga lain yang terintegrasi dan menjadi satu kesatuan dalam proses penegakan hukum bidang kehutanan, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman, dengan ruang lingkup kerjanya masing-masing.
Oleh karena itu, melalui Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredaranya di seluruh Indonesia, kedudukan dan peran dari Departemen Kehutanan, terutama sebagai bagaian dari penegak hukum bidang kehutanan, dipertegas agar dapat:
a. Meningkatkan penegakan hukum bekerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan serta aparat terkait terhadap pelaku berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melalui kegiatan operasi intelijen, preventif, represif, dan yustisi.
b. Menetapkan dan memberikan insentif bagi pihak-pihak yang berjasa dalam kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya.
c. Mengusulkan kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan pencegahan dan penangkalan terhadap oknum yang diduga terlibat kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
c. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia:
Menurut Undang-Undang Nomor Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Kepolisian, dikatakan bahwa Kepolisian Republik Indonesia adalah salah satu lembaga yudisial yang memiliki tugas yaitu pertama memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; kedua menegakkan hukum; dan fungsi ketiga adalah memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.[11] Khusus dalam fungsinya sebagai penegak hukum, dikatakan dalam undang-undang bahwa kepolisian adalah penyidik tunggal, yang dalam pelaksanaannya juga dibantu oleh penyidik lain yaitu penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang memiliki fungsi penyidikan juga.
Mengingat begitu pentingnya Kepolisian Negara dalam penegakan hukum, maka hampir setiap daerah, mulai tingkat ibukota negara, propinsi, kabupaten, kecamatan dan bahkan desa terdapat lembaga kepolisian yang memiliki tugas, kewajiban dan kewenangan yang sama satu dengan yang lainnya, meskipun dari sisi namanya berbeda. Di Tingkat Nasional misalnya lembaga Kepolisian yang berkedudukan di Ibokota Negara disebut dengan Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (MABES POLRI), di tingkat Propinsi dikenal dengan istilah Kepolisian Daerah (POLDA), di tingkat Kotamadia dikenal adanya Kepolisian Kota Besar (POLTABES) atau (POLRES) yang ruang kerjanya membawahi beberapa Polisi Sektor Kota (POLSEK) yang terdapat ruang kerja hukumnya di wilayah masing-masing kecamatan. Sedangkan pada tingkat desa terdapat Pos Polisi (POSPOL) yang merupakan bagian Kepolisian Negara RI yang berada di tingkat paling bawah yaitu desa. Dan ini juga yang membedakan lembaga Kepolisian dengan lembaga lainnya yang memiliki fungsi penegakan hukum.
Dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredaranya di seluruh Indonesia, fungas lembaga Kepolisian Negara Indonesia dipertegas kembali agar:
a. Menindak tegas dan melakukan penyidikan terhadap para pelaku kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
b. Melindungi dan mendampingi aparat kehutanan yang melaksanakan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
c. Menempatkan petugas Kepolisian Republik Indonesia di lokasi rawan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya sesuai kebutuhan.
Dikatakan penegasan kembali, karena sesungguhnya tanpa adanya Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 tersebut, sudah memang menjadi tugas utama dari kepolisian sebagai penegak hukum untuk melakukan penindakan yang tegas terhadap berbagai bentuk kejahatan termasuk kejahatan dalam bidang kehutanan tentunya.
d. Jaksa Agung :
Seperti dikatahui bahwa dalam system peradilan pidana, jaksa adalah salah satu subsistem yang ada dalam system peradilan pidana (criminal justice system), disamping tentunya polisi, pengadilan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan sendiri yang tugas utamanya adalah melaksanakan fungsi penuntutan yaitu tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Disamping sebagai lembaga penuntutan, jaksa juga diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melaksanakan putusan pengadilan.[12]
Sebagai bagian dari lembaga negara maka keberadaan Kejaksaan diatur dalam Undang-Undang, dan dalam perjalanannya sudah ada tiga undang-undang yang mengatur masalah kejaksaan. Sejak merdeka misalnya, keberadaan kejaksaan ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961. Kemudian karena perkembangan jaman, undang-undang ini dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Pertimbangan yang sama juga terjadi ketika bangsa Indonesia memasuki era baru yaitu masa reformasi di segala bidang, dimana substansi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Dari ketiga undang-undang tersebut sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai kedudukan dan kewenangan lembaga kejaksaan.
Tugas dan wewenang kejaksaan cukup besar, karena tidak hanya dalam bidang pidana saja, tetapi juga dalam bidang perdata dan tata usaha negara, bahkan kejaksaan juga memiliki tugas dan wewenangan dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum. Hal ini bisa dilihat dari Bab III Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, terutama dalam Pasal 30 ayat 1, 2 dan 3 yang mengatakan bahwa:
(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. pengawasan peredaran barang cetakan;
d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Mendasarkan kepada begitu massiv dan berbahayanya kejahatan dalam bidang kehutanan maka presiden melalui instruksi presiden nomor 4 tahun 2005 meminta kepada Jaksa Agung untuk:
a. Melakukan tuntutan yang tegas dan berat terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan berdasarkan semua peraturan perundangan yang berlaku dan terkait dengan tindak pidana di bidang kehutanan.
b. Mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana yang berhubungan dengan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya pada setiap tahap penanganan baik pada tahap penyidikan, tahap penuntutan maupun tahap eksekusi. Hal ini berarti kejaksaan harus memprioritaskan penanganannya terhadap kejahatan kehutanan dibandingkan dengan kejahatan bidang lainnya.
e. Panglima Tentara Nasional Indonesia :
Kejahatan dalam bidang kehutanan memang memperlihatkan kompleksitas yang tinggi, hal ini dikarenakan dari anatomi kejahatan dalam bidang kehutanan memang berbeda dengan kejahatan pada umumnya. Sifatnyanya yang terorganisir (organized crime), melibatkan banyak orang yang memiliki kedudukan yang dinilai terhormat dalam masyarakat (white color crime), bernuansakan ekonomi yang tinggi (economic crime) menjadikan pelaku kejahatan kehutanan selalu berusaha untuk dapat mengakses para aparat penegak hukum sebagai bagian dari aktivitas mereka, dengan tujuan agar aktivitas yang dilakukannya tidak mudah terjangkau oleh hukum.
Meskipun TNI tidak memiliki kewenangan dalam penegakan hukum pada umumnya, namun khusus dalam hal kejahatan bidang kehutanan seperti illegal logging, keterlibatan TNI sebagai bagian dari upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan kehutanan diperlukan. Dan jauh sebelum adanya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 2005 tersebut koordinasi antara Departemen Kehutanan dengan Mabes TNI dalam pemberantasan kejahatan kehutanan, terutama dalam hal ini TNI Angkatan Laut telah melakukan kerjasama dengan Ditjen PHKA melalui operasi “Wanabahari” yang telah melakukan berbagai tindakan hukum, seperti penangkapan, terhadap kapal-kapal yang berada diperairan Indonesia yang diduga membawa kayu-kayu illegal. Operasi tersebut dilakukan sebagai bagian dari upaya TNI Angkatan Laut dalam menjaga kedaulatan Negara Republik Indonesia pada wilayah perairan.
Bahkan dengan mengingat aktivitas kejahatan kehutanan seperti “Illegal Logging” dari hari ke hari memperlihatkan peningkatan yang luar biasa massifnya, maka pemerintah, yang dalam hal ini Departemen Kehutanan, merasa perlu berkoordinasi dengan Mabes TNI untuk secara bersama-sama melakukan berbagai upaya pencegahan dan atau pemberantasan terhadap kejahatan illegal logging. Kerjasama antara Departemen Kehutanan dengan Mabes TNI ini secara publik diumumkan melalui siaran pers tanggal 15 Januari 2003 Nomor 51/II/PIK-1/2003. Salah satu alasan dilakukannya kerjasama antara Departemen Kehutanan dengan Mabes TNI adalah untuk menyelamatkan hutan tropis Indonesia yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Kerusakan hutan tropis Indonesia bukan hanya berdimensi kerusakan sumberdaya ekologis dan ekonomis saja, tetapi sudah masuk ke dalam dimensi kerusakan moralitas, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia. Pada saat ini penebangan liar bukan hanya terjadi pada hutan produksi saja, tetapi sudah masuk ke dalam kawasan konservasi, baik taman nasional, hutan lindung, maupun kawasan konservasi lainnya, bahkan di beberapa lokasi sudah berada pada zona inti taman nasional.
Secara normativ diikutsertakannya TNI dalam proses penegakan hukum bidang kehutanan dimungkinkan karena sejak reformasi fungsi TNI sudah dikembalikan kepada fungsi yang sebenarnya yaitu fungsi pertahanan negara, dan menurut TAP Nomor VI dan TAP Nomor VII/ MPR/ 2000 dilibatkannya TNI dalam urusan domestik, terutama untuk civic mission. Demikian juga halnya dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana dalam Bab VII pasal 41 ayat 1 dikatakan bahwa: Dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan inilah yang kiranya membuka peluang disertakannya TNI oleh Departemen Kehutanan—dan juga oleh POLRI—dalam rangka pencegahan dan pemberantasan kejahatan kehutanan.
Menyadari bahwa illegal logging sudah sedemikian parah, maka presiden melalui Instruksinya Nomor 4 Tahun 2005 merasa perlu mempertegaskan kembali keterlibatan Tentara Nasional Indonesia untuk :
a. Menangkap setiap pelaku yang tertangkap tangan melakukan penebangan dan peredaran kayu ilegal serta penyelundupan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Republik Indonesia melalui darat atau perairan berdasarkan bukti awal yang cukup dan diproses sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Meningkatkan pengamanan terhadap batas wilayah negara yang rawan kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan perairannya.
f. Menteri Keuangan :
Pemerintah sesungguhnya menyadari bahwa keberhasilan upaya penegakan hukum bidang kehutanan terkait secara langsung dengan ketersediaan dana yang menunjang dalam aktivitas penegakan hukum tersebut. Apalagi mengingat luasnya daerah jangkauan dari suatu penegakan hukum bidang kehutanan serta sulitnya mencapai daerah atau lokasi kegiatan illegal logging, maka sudah dapat dipastikan dukungan dana yang maksimal menjadi syarat utama bagi keberhasilan dalam proses penegakan hukum tersebut.
Oleh karena itu, meskipun tidak memiliki keterkaitan secara langsung dalam proses penegakan hukum bidang kehutanan, Presiden melalui Instruksinya tersebut merasa perlu meminta kepada Menteri Keuangan untuk:
a. Mengalokasikan biaya yang digunakan untuk pelaksanaan Instruksi Presiden ini melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada masing-masing instansi untuk kegiatan operasional maupun insentif bagi pihak yang berjasa.
b. Menginstruksikan kepada aparat Bea Cukai untuk meningkatkan pengawasan dan penindakan terhadap lalu lintas kayu di daerah pabean.
g. Menteri Dalam Negeri:
Dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 dikatakan bahwa keterlibatan Departemen Dalam Negeri dalam hal ini adalah untuk melakukan evaluasi terhadap Peraturan Daerah yang berkaitan dengan bidang kehutanan dan mempercepat penyampaian rekomendasi pencabutan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa sejak otonomi daerah, banyak daerah yang memandang hutan sebagai sumber utama PAD mereka, karena itu sebagai upaya merealisasikan PAD dari hutan tersebut dibuatlah Peraturan Daerah yang bertujuan memperoleh PAD dari sektor kehutanan. Persoalannya adalah berbagai Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah banyak yang melanggar rambu-rambu dan ketentuan hukum yang lebih tinggi sifatnya, dan jelas hal ini secara hukum tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 dipertegas kembali agar Menteri dalam negeri melakukan evaluasi terhadap Peraturan Daerah yang berkaitan dengan bidang kehutanan dan mempercepat penyampaian rekomendasi pencabutan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
h. Menteri Perhubungan :
Salah satu aktivitas yang secara langsung berkaitan dengan aktivitas kejahatan dalam bidang kehutanan adalah dibawa dan diangkutnya hasil kejahatan, seperti kayu atau log, tersebut keluar dari hutan untuk dipasarkan, baik pasar dalam negeri maupun luar negeri. Pada saat inilah keterlibatan armada angkutan, mulai dari angkutan darat seperti truk, ataupun armada angkutan laut seperti Kapal Pelayaran Rakyat yang dengan sengaja mengangkut kayu hasil kejahatan tersebut untuk dibawa ketempat tujuannya.
Oleh karena itu, sebagai bagian dari upaya memutus mata rantai kejahatan dalam bidang kehutanan, dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 dinyatakan bahwa Departemen Perhubungan melalui Menteri Perhubungannya diharapkan dapat:
a. Meningkatkan pengawasan perizinan di bidang angkutan yang mengangkut kayu.
b. Menginstruksikan kepada seluruh Administrator Pelabuhan dan Kepala Kantor Pelabuhan agar tidak memberikan izin pelayaran kepada kapal yang mengangkut kayu ilegal.
c. Menindak tegas perusahaan pengangkutan dan pelayaran yang mengangkut kayu ilegal dengan mencabut izin usaha pelayaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d. Membina organisasi angkutan dalam rangka mendukung pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
3. Para Gubernur :
Mengacu pada Pasal 59-64 Bab VII UU No. 41 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemda bertanggung jawab terhadap pengawasan hutan, dan berdasarkan Bab VIII Pasal 66 disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan tertentu kepada Pemda untuk meningkatkan efisiensi administrasi pengelolaan hutan. Bahkan menurut Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pemerintah Pusat memberikan wewenang kepada Pemda untuk mengeluarkan berbagai izin di dalam wilayah yurisdiksinya. Kewenangan dimaksud diberikan untuk berbagai kegiatan yang tidak terkait dengan hasil hutan kayu, termasuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, serta pemanfaatan dan pengumpulan hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Sebagai tindak lanjut dari konsep pendelegasian wewenang tersebut maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi yang memberikan kewenangan kepada dalam hal ini Gubernur untuk mengeluarkan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk kawasan seluas 10.000 hektar dan memberikan kewenangan kepada Bupati untuk mengeluarkan izin Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) untuk kawasan yang luasnya sekitar 100 hektar. Kedua izin ini dikeluarkan untuk jangka waktu tidak lebih dari satu tahun. Izin-izin ini dikenakan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan, jika izin ini berkaitan dengan penebangan, maka dikenakan Dana Reboisasi. Keputusan Menteri Kehutanan dan Pertanian No. 310 Tahun 1999 tentang Pedoman Pemberian Hak Pemungutan Hasil Hutan yang sekarang juga diberlakukan kembali dan didasarkan pada PP No. 6 Tahun 1999, menjelaskan bahwa izin HPHH untuk 100 hektar dapat dikeluarkan untuk hutan konversi atau hutan produksi dengan tujuan konversi atau guna penataan ulang. Namun demikian, Keputusan Menteri tersebut secara khusus melarang pengeluaran izin HPHH untuk lahan-lahan yang telah berada dalam areal konsesi HPH.
Namun dalam realitasnya, konsep pendelegasian kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dalam bidang kehutanan ini sering dimaknai berlebihan oleh Pemerintah Daerah, dimana Pemerintah Daerah seakan-akan memiliki ruang yang bebas untuk mengatur persoalan kehutanan yang ada dalam lingkup daerahnya masing-masing. Hanya persoalannya kemudian, banyak aturan terutama dalam bentuk perizinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah yang disalahgunakan oleh pemegang izin tersebut, seperti izin sawmill (pengergajian) dimana bahan baku kayunya berasal dari kejahatan.
Menyadari akan besarnya peran pemerintah daerah dalam aktivitas dan kejahatan bidang kehutanan, maka melalui Inpres No. 14 Tahun 2005 ditegaskan bahwa Pemerintah Daerah:
a. Mencabut dan merevisi Peraturan Daerah/Keputusan Gubernur yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
b. Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Provinsi dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya melalui operasi preventif dan represif.
c. Mencabut izin usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Mencabut izin usaha industri pengolahan kayu yang memanfaatkan kayu ilegal dan memproses sesuai kewenangannya.
e. Meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya.
f. Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing.
g. Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
j. Bupati/Walikota :
Serupa dengan kewenangan pemerintah propinsi, kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota di sektor kehutanan juga bersumber pada kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Dapat dikatakan bahwa hampir semua kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan kehutanan merupakan delegasi kewenangan dari pemerintah pusat. Sebagai contoh, pemerintah kabupaten/bupati berwenang untuk:
1. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam wilayah kabupaten/kota.
2. Pengusulan penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
3. Pengusulan pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala kabupaten/kota dengan pertimbangan gubernur.
4. Pengusulan perubahan status dan fungsi hutan dan perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan.
5. Pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi, serta institusi wilayah pengelolaan hutan.
6. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit KPHP.
7. Pertimbangan teknis pemberian izin industri primer hasil hutan kayu.
8. Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala kabupaten/kota.
9. Pelaksanaan pemungutan penerimaan negara bukan pajak skala kabupaten/kota.
10. Penetapan lahan kritis skala kabupaten/kota.
11. dan kewenangan lainnya.
Dalam kaitannya dengan Inpres no. 14 Tahun 2005, pemerintah kabupaten diberikan kewenangan untuk:
a. Mencabut atau merevisi Peraturan Daerah/Keputusan Bupati/Keputusan Walikota yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
b. Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Kabupaten/Kota dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya melalui operasi preventif dan represif.
c. Mencabut izin usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Mencabut izin usaha industri pengolahan kayu yang memanfaatkan kayu ilegal dan memproses sesuai kewenangannya.
e. Mengawasi secara lebih intensif kinerja pejabat penerbit dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) di wilayahnya.
f. Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing.
g. Menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur peredaran kepemilikan dan penggunaan gergaji rantai (chainsaw) dan sejenisnya.
h. Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan melalui Gubernur.
Disamping lembaga-lembaga seperti tersebut di atas, maka sesungguhnya masih ada lagi instansi lainnya seperti Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan Kepala Badan Intelijen Negara, yang bertugas memberikan dukungan dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
Epilog:
Dilihat pada tataran global, sesungguhnya kemauan politik pemerintah dan negara dalam memberantas “illegal logging” sudah jelas, hal ini terlihat dari produk hukum yang mencoba menjawab persoalan yang melingkupi kejahatan dalam bidang kehutanan. Hanya memang pada tataran praktis, hal ini masih perlu diperhatikan dengan seksama, karena kemauan politik yang sudah ada harus dibarengani juga dengan dukungan infrastruktur lainnya, seperti ketersediaan dana, adanya perangkat hukum yang jelas, dan dukungan kuat dari semua kalangan, termasuk masyarakat.
*Makalah disampaikan pada diskusi terbatas yang diadakan oleh LPS AIR, di Fakultas Hukum Untan, Tanggal 8 Februari 2010.
** Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Untan
[1] WWF; Studi Illegal Logging dan Illegal Sawmill Di Kalimantan Barat, Laporan Penelitian Pontianak, Tahun 2002, hal. 9.
[2] lihat Rahmi Hidayat dkk dalam: “ Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu, Penerbit Wana Aksara, 2006: 10.
[3] Beberapa sarjana yang memandang kejahatan ekonomi sebagai yang mendasarkan pada cara pandang normative-positivistik antara lain adalah Dr. Andii Hamzah, SH, Hukum pidana ekonomi, penerbit erlangga, 1983, dan R. Wiyono, SH. Pengantar tindak pidana ekonomi Indonesia, penerbit alumni, 1983.
[4] Salah satu sarjana yang tidak setuju dengan pendekatan yang normative-positivistik ini adalah Mardjono Reksodiputro. Lebih jauh lihat mardjono reksodiputro, kemajuan pembangunan ekonomi dan kejahatan, kumpulan karangan, buku kesatu, penerbit pusat pelayanan keadilan dan pengabdian hokum universitas Indonesia, cet-I, tahun 1994, hal. 48
[5] Muladi, SH. dan Barda Nawawi Arief, SH, Bunga Rampai Hukum Pidana,Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hal. 150.
[6] Ibid, hal. 5-6.
[7] ( Arief Amarullah ; 2006 ; 39 ).
[8] Nitibaskoro, Tb. Ronny Rahman ; 2007; Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Kompas, Jakarta. Hal 50
[9] Menurut convention against transnational organized crimen, atau yang lebih dikenal dengan konvensi Palermo 2000, dalam pasal 3 ayat 2 konvensi tersebut menegaskan bahwa: “an offences is transnational in nature if:
1. It is commited in more than one state;
2. It is commited in one state but a substanstial part of its preparation, planning, direction or control takes place in another state;
3. It is commited in one state but involves an organized criminal group that engages in criminal activities in more than one state; or
4. It is commited in one state but has substantial effects in another state;
[10] Dalam Soewarno Handayaningrat, 1985, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Managemen, Gunung Agung, Jakarta, hlm. 89.
[11] Lihat pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002.
[12] Lihat pasal 1 angka 1,2, 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS DAN INSTITUSIONALISASI
PENGADILAN LOKAL YANG BERBASIS BUDAYA
Oleh: Dr. Hermansyah, SH.M.Hum*
Abstract
Konflik, etnisitas serta multikultural merupakan keniscayaan, dan konflik yang terjadi sering dikarenakan pemahaman yang keliru tentang adanya perbedaan tujuan kehidupan, keragaman suku serta pluralitas kebudayaan. Dalam realitasnya, penyelesaian konflik yang terjadi sering diselesaikan melalui jalur hukum pidana (criminal justice system), namun penyelesaian yang dilakukan melalui jalur hukum Negara menuai rasa ketidakpuasan karena terlalu menekankan pada keadilan prosedural (procedural justice), dan kekerasan ditempuh masyarakat sebagai bentuk serta ekspresi dari ketidakpuasan terhadap sistem peradilan negara. Pada hal dalam masyarakat tersedia peradilan lokal (peradilan adat) yang sudah melembaga yang dapat digunakan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi, apalagi mengingat sifat dan karakteristik peradilan lokal yang lebih menekankan pada aspek keadilan substanstif (substantive justice) dalam penyelesaiannya dan memiliki basis sosial (social basic) serta mendasarkan pada basis budaya (cultural basic) masyarakat yang jelas.
Kata kunci: konflik, kekerasaan, multikultural dan sistem peradilan pidana, dan peradilan lokal
A. Pendahuluan
Sebuah catatan historis yang cukup mengejutkan telah dilakukan oleh Affandi (2004: 1-2) dan Koentjaraningrat (1993:2-3) yang memperlihatkan bahwa konflik antar suku bangsa (etnis) telah berlangsung sepanjang sejarah kehidupan manusia. Konflik tersebut tidak saja terjadi di Negara-negara berkembang atau Negara yang sedang dilanda krisis ekonomi, melainkan sama kuatnya menerobos masuk ke dalam kehidupan negara-negara maju yang kehidupan ekonominya tergolong kuat, bahkan konflik juga melanda pada negara-negara yang fondasi kehidupan demokrasinya sudah kokoh. Dan salah satu penyebab konfllik tersebut adalah adanya keragaman etnis dan kultural.
Keragaman etnis dan kultural, disatu sisi dipandang sebagai kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya, tetapi disisi lain kemajemukan tersebut memiliki potensi yang besar bagi munculnya konflik-konflik antar etnis (suku), antar daerah, antar agama, antar klas ekonomi dan Indonesia sangat berpengalaman dalam hal konflik ini.
Khusus di Kalimantan Barat, konflik antar etnis ini dalam sejarahnya sudah dimulai pada tahun 1950 di Samalantan Kabupaten Sambas, Terap-Toho Kabupaten Pontianak (1969), Bodok Kabupaten Sanggau (1976), Sungai Pinyuh Kabupaten Pontianak (1978), Sindoreng Samalantan Kabupaten Sambas (1979), Sungai Ambawang Kabupaten Pontianak (1981), Tumbang Titi Kabupaten Ketapang (1994), Sanggau Ledo Kabupaten Sambas (1996/1997) dan di Siantan Tengah Kotamadya Pontianak pada tahun 1997 (Tiras, 1997:81).
Realitas konflik dan kerasaan yang melanda hampir diseluruh wilayah Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat sebagai diuraikan di atas membutuhkan pengkajian yang mendalam untuk menemukan solusi yang tepat dalam mengatasi konflik dan kekerasan yang terjadi pada masyarakat multi etnis atau masyarakat yang multikultural. Keseriusan dalam menemukan solusi yang tepat itu, menurut Suparlan (2000:1-14) sangat penting untuk digalakkan agar masalah kemajemukan Indonesia itu jangan sampai menjadi pemicu keterpecahan sebagaimana yang dialami oleh Negara-negara lain di dunia, seperti Soviet Rusia dan Yugoslavia yang terpecah-pecah menjadi negara-negara baru yang nasionalismenya dilandasi oleh kesuku-bangsaan dan keyakinan keagamaan.
Solusi akademis yang ditawarkan untuk mengatasi masalah konflik dan kekerasan etnis ini sudah banyak dilakukan, namun tawaran penyelesaian yang diberikan pada umumnya berkisar pada persoalan ekonomi, sosial politik dan penyelesaian yang mendasarkan pada perbedaan dan streotif budaya. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat penelitian pembangunan pedesaan dan kawasan universitas gajah mada (P3PK) misalnya, menemukan konflik dan kekerasan yang terjadi merupakan bentuk ekspansi kapital dan birokrasi dalam masyarakat sanggau ledo Kalimantan Barat. Kondisi yang demikian itu sebagai pemicu terjadinya alienasi dan marjinalisasi pada masyarakat lokal (Mas’oed, 2001:23-64). Bahkan dari penelitian yang dilakukan oleh Djuweng (1996) dan Andri (2003) menemukan bahwa kekerasan etnis yang terjadi di Kalimantan Barat lebih disebabkan oleh perebutan hasil alam antara masyarakat pendatang dengan penduduk asli. Bahkan kajian Peluso sebagaimana dikutip oleh Bamba (2001) menemukan bahwa konflik etnis yang terjadi di Kalimantan lebih disebabkan oleh perbedaan dan stereotif budaya masing-masing etnis yang saling berbenturan.
B. Permasalahan dan Fokus Pembahasan:
Fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah bagaimana mengoptimalkan dan melembagakan sistem peradilan lokal dalam menyelesaikan konflik etnis. Diambilnya fokus tulisan ini dikarenakan dalam kenyataannya, disamping sistem peradilan Negara, di Kalimantan Barat terdapat sistem peradilan lokal atau biasa yang dikenal dengan sistem peradilan adat yang keberadaannya jauh sebelum sistem peradilan Negara ada ditengah-tengah kehidupan sosial mereka, yang cukup efektif dalam dalam menyelesaikan setiap persoalan sosial pada mereka.
Mendasarkan pada fokus pembahasan seperti tersebut di atas, makan permasalahan dalam tulisan ini adalah sampai sejauhmana sistem peradilan lokal mampu dan dapat dilembagakan dalam menyelesaikan konflik etnis di Kalimantan Barat, mengingat begitu kuatnya sentralisasi hukum sebagai politik hukum Negara dimana salah satu agenda dari politik hukum tersebut adalah menyelesaikan setiap persoalan yang ada dalam masyarakat melalui sistem peradilan Negara, sementara waktu sistem peradilan Negara yang terbentuk tidak memiliki basis sosial yang kuat dari masyarakat setempat. Inilah yang menjadi mula persoalan yang ada ketika perselisihan yang terjadi antara dua etnis yang berbeda diselesaikan melalui proses atau sistem peradilan Negara yang tidak memiliki akar budaya masyarakat setempat, menjadikan perselisihan tersebut mencuat menjadi konflik etnis yang massiv sifatnya.
C. Etnis Dan Konflik: Pemahaman Dasar
Secara etimologis, kata etnis berasal dari bahasa yunani yaitu “etnichos” yang digunakan untuk menerangkan keberadaan sekelompok penyembah berhala atau kafir. Dalam perkembangannya kemudian istilah etnis mengacu pada kelompok yang diasumsikan memiliki sikap fanatik terhadap ideologinya. Sedangkan dalam ilmu sosial kata etnis itu sendiri mengacu pada sekelompok penduduk yang mempunyai kesamaan sifat-sfat kebudayaan misalnya bahasa, ada istiadat, perilaku dan karakteristik budaya serta kesamaan sejarah (Alo Liliweri, WS, 2001:335 dan Chris Barker, 2004:201).
Istilah etnis, etnisitas dan etnisisme sebenarnya merupakan hal yang relative baru dalam perbincangan sehari-hari dalam bahasa Indonesia. Sebagai konsep ilmu sosial, demikian Ignas Kleden, etnisitas baru berumur sekitar 30-an tahun, yakni setelah Frederik Barth mempublikasikan tulisannya yang berjudul Ethnic Groups and Baounderies di tahun 1969 (ignas kleden, 2002:6). Pengunaan istilah etnis, etnisitas ini untuk menggantikan istilah suku, sukuisme atau kesukuan yang banyak digunakan sebelumnya. Dan dari sisi penggunaannya, istilah etnis sebelumnya merujuk pada kelompok-kelompok masyarakat yang dari dari luar, misalnya menyebut etnis cina, arab (Emmanuel Gerit Singgih, 2002:ix).
Setidaknya terdapat empat pendekatan teoritis dalam melihat fenomena etnisitas ini, yaitu primordialisme, konstruktivisme, instrumentalisme dan interaksionisme. Pendekatan primordialisme melihat fenomena entisitas dari katagori-katagori sosio biologis. Dalam pendekatan ini, umumnya kelompok-kelompok sosial dikarakteristikan oleh gambaran-gambaran kewilayahan, agama, kebudayaan bahasa dan organisasi social. Pendekatan ini mengedapankan bahwa etnisitas sebagai sesuatu yang given, sesuatu yang memang sudah ada dalam masyarakat. Etnisitas dalam model pendekatan pertama ini masih bersifat primordialis dan askriptif, bahwa seorang menjadi etnis tertentu bukan karena pilihan dirinya.
Pendekatan konstruktivisme yang dikembangkan oleh Frederik Barth, memandang identitas etnis sebagai hasil dari proses sosial yang rumit. Disebut juga sebagai pendekatan situasionalis, ditekankan bahwa organisasi sosial dari perbedaan-perbedaan entis adalah hasil dari interaksi dengan kelompok sosial lainnya. Pendekatan lain adalah pendekatan instrumntalis yang lebih menaruh perhatian pada proses manifulasi dan mobilitas poplitik (ubed abdillah, 2002).
Sedangkan pendekatan interaksionis terhadap kemunculan konsep etnis menurut EIlliam Graham Summer, seorang antropolog yang beraliran interaksionis, bermula dari pandangan tentang manusia yang bersifat individualistis, serta cenderung mengikuti naluri biologi mementingkan diri sendiri. Namun karena dia harus berhubungan antar manusia, maka terjadilah sifat hubungan yang antagonistic (pertentangan yang menceraiberaikan). Supaya pertentangan itu dapat dicegah, perlu ada “folkways” yang bersumber pada pola-pola tertentu. Kemudianmereka yangmempunya “folkways” yang sama cenderung mengelompok dalam satu kelomok yang disebut kelompok etnis (Alo Liliweri, Op Cit: 335).
Sebagai sebuah konsep, konflik dan kekerasan adalah dua istilah yang dalam penggunaan dan pengertiannya sering tidak jelas. Konflik dimaknai sebagai kekerasan dan kekerasan dimengerti atau dipahami sebagai salah satu bentuk konflik. Pada hal, dua hal tersebut adalah berbeda. Secara sederhana konflik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Mitchell, 198, Liliweri, 2005:249). Sedangkan kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental , sosial atau lingkungan, dan /atau menghalangi seorang untuk meraih potensi secara penuh atau “any avoidable impediment to self realization” (Mitchel, 1981, Gurr, 1950:2-4 dan Galtung, 1980; 67). Dari pengertian tersebut kiranya dapat dikatakan bahwa konflik tidak sama dengan kekerasan.
Konflik identik dengan masyarakat serta merupakan kenyataan hidup, tidak terhindarkan (kartikasari, 2004:4), artinya tidak ada masyarakat yang tidak berkonflik. Dalam masyarakat yang bersahaja sekalipun tetap muncul kepermukaan bahkan menurut Posposil konflik tersebut muncul dalam bentuk yang berkepanjangan (Ihromi, 1984:73). Oleh karena itu, konflik bukan lagi merupakan kenyataan empiris, melainkan persoalan esensial manusia (Magnis Suseno, 1991:200). Apalagi dalam masyarakat yang modern yang kehidupan sosialnya tampak semakin kompleks dan pluralis, konflik tidak akan terhindarkan. Berbagai bidang kehidupan dapat menjadi sumber konflik yang esensial, mulai dari kehidupan bertetangga, bermasyarakat dan bernegara, lapangan kehidupan ekonomi, politik budaya bahkan dalam perspektif pelaksanaan hak dan kewajibanpun konflik menjadi suatu persoalan (Poespoprodjo, 1988:265).
Setidaknya ada enam teori yang menjelaskan mengapa konflik tersebut merupakan persoalan esensial manusia, yakni (1) teori hubungan masyarakat, (2) teori negosiasi prinsip, (3) teori kebutuhan manusia, (4) teori identitas, (5) teori kesalahpahaman antara budaya, dan(6) teori tranformasi konflik (Karikasari, 2000:8-9). Masing-masing teori tersebut memiliki asumsi yang berbeda satu dengan yan glainnya.
Pertama, dalam teori hubungan masyarakat misalnya, konflik terjadi disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran dari teori ini adalah meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya. Kedua, toeri negosiasi prinsip berasumsi dan beranggapan konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Ketiga, toeri kebutuhan manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar dan disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia, baik fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi, keamanan dan pengakuan identitas, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan dari teori ini,. Keempat, asumsi teori identitas melihat konflik muncul karena adanya identitas yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak terselesaikan. Kelima, asumsi teori kesalahpahaman budaya melihat konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran dari teori ini adalah menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi stereotif negative yang mereka miliki tentang pihak lain dan meningkatkan keefektifan komunikasi antar budaya. Sedangkan keenam, teori transformasi konflik berasumsi bahwa konflik dalam masyarakat terjadi karena masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Menurut Fisher (2000) dan Liliweri (2005:286-287) ada sejumlah terminologi yang sering digunakan dalam upaya untuk menyelesaikan konflik sosial, antara lain pencegahan konflik, penyelesaian konflik, pengelolaan konflik, resolusi konflik, dan transformasi konflik. Dari sekian banyak katagori penyelesaian konflik tersebut, tampaknya yang paling popular digunakan, selain istilah penyelesaian konflik itu sendiri adalah manejemen konflik dan resolusi konfli, dan kekerasan adalah salah satu substansi yang ada dari berbagai terminologi tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa kekerasan yang terjadi merupakan cara yang ditempuh oleh masing-masing pihak dalam menyelesaikan perbedaan-perbedaan tujuan yang inheren dalam kehidupannya meskipun cara-cara lain yang sifatnya lebih positive, produktif masih banyak seperti dialog dan musyawarah.
Sedangkan multikulturalisme, menurut Amin dalam Yaqin (2005), sebetulnya merupakan sebuah wacana untuk memahami perbedaan yang ada pada sesama manusia, dan berusaha menyakinkan agar perbedaan itu dapat diterima sebagai hal yang alamiah (natural/sunnatullah) dan tidak menimbulkan tindakan diskriminatif sebagai buah dari pola perilaku dan sikap hidup yang mencerminkan iri hati, dengki dan buruk sangka. Pola sikap dan perilaku yang demikian itu, oleh Robinson (2000), Bubant (2000) dan Aragon (2000), dipandang sebagai pemicu kerusuhan dan kekerasan.
Khusus di Indonesia ada istilah Bhennika Tunggal Ika yang telah dijadikan semboya kehidupan bangsa, dimana secara sederhana istilah tersebut bermakna adanya keragaman namun tetap dalam lingkup dan konteks budaya yang tunggal yaitu budaya Indonesia. Namun dalam perjalannya konsep Bhennika Tunggal Ika tersebut mengalami distorsi pemahaman akan pemaknaan sehingga memunculkan sistem budaya yang tunggal, kuat, dominan yang kemudian mengenyampingkan budaya lain yang sifatnya lokal. Pemaknaan yang terdistorsi ini juga berlanjut dalam bidang hukum, dimana sistem peradilan negara dinilai sebagai cerminan dari budaya ke Indonesiaan, pada hal secara historis kemunculan sistem peradilan negara yang berlaku seperti dewasa ini bukanlan berakar dari sistem peradilan lokal yang ada dan khas Indonesia.
Mendasarkan pada kenyataan historis tersebutlah, maka dalam tulisan ini digunakan istilah multikulturalisme sebagai bagian dari upaya menghindarkan dari pemahaman yang absolut akan budaya tertentu. Sehingga dengan penggunaan istilah multikulturalisme ini diharapkan sistem hukum negara tetap diakui keberadaan dan sementara waktu sistem peradilan lokal juga diakui keberadaannya guna menyelesaikan persoalan sosial yang syarat dengan muatan budaya masyarakat setempat.
D. Peradilan Negara Dan Lokal: Pilihan Dilematis
Sebagai sebuah persoalan sosial, banyak cara yang bisa ditempuh dalam menyelesaikan konflik yang ada, dan cara-caa tersebut tentunya memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Kekerasan misalnya, sebagai salah satu cara penyelesaian konflik jelas merupakan cara yang paling rendah tingkat akomodasinya terhadap nilai-nilai dasar kemanusian. Bahkan dapat dikatakan kekerasan tidak menghiraukan sama sekali akan nilai dan prinsip dasar kemanusian
Cara yang dinilai memiliki tingkat akomodasi terhadap berbagai nilai dasar kemanusian dalam menyelesaikan konflik adalah melalui jalur peradilan. Dikatakan demikian, karena diharapkan melalui jalur peradilan berbagai persoalan yang ada dapat tergambarkan dengan jelas, dan penyelesaian yang dilakukan memberikan keadilan pada semua pihak. Namun demikian, tidak jarang sistem yang dinilai memiliki tingkat akomodasi terhadap nilai-nilai kemanusian memperlihatkan sisi dan wajah yang kontradiksi. Berbagai bentuk pembantaian nilai kemanusian dapat terjadi dan dilakukan melalui proses peradilan ini.
Demikianlah misalnya peradilan negara yaitu sistem peradilan Negara yang dikembangkan bukan dan tidak berakar dari sistem budaya bangsa Indonesia sendiri, melainkan diadopsi dari luar, yaitu dari sistem hukum eropa kontinental yang memiliki falsafah, tata nilai serta sistem yang sebelumnya berbeda dengan masyrakat Indonesia (Satjipto Rahardjo, 1996:1).
Berkembangnya birokratisasi dalam sistem peradilan formal, menurut Susanto (1995) membuat keadilan yang dihasilkannya lebih condong kepada keadilan birokratis. Salah satu cri yang paling menonjol dari sistem yang dikembangkan di Indonesia adalah bersifat tertutup bagi orang-orang lain yang secara psikologis dimaksudkan untuk melindungi “kekurangan-kekurangan” dalam cara memperoleh dan mencari keadilan. Persoalan mendasar lain dari sistem peradilan Negara (pidana) sebagaimana dikemukakan oleh Wigjosoebroto (1994:78) penekanan yang terlalu berlebihan terhadap kepastian hukum yang merupakan turunan dari ajaran legisme dari mazhab hukum murni yang lebih mengagungkan rasionalitas, sehingga dalam realitasnya tidak memberikan perlindungan yang berarti kepada masyarakat karena hakim dalam melaksanakan fungsinya selalu melakukan pemihakan-pemihakan, terutama pemihakan kepada pihak yang kuat (powerfull).
Oleh karena itu, masyarakat sering merasa kecewa terhadap hasil dari sistem peradilan pidana yang dianggapnya tidak memenuhi aspek keadilan dan tidak selaras dengan sistem serta persepsi budaya yang dimilliki oleh mereka, sehingga sering masyarakat menempuh cara lain guna menyelesaikan sengketa tersebut yaitu cara kekerasan atau melalui jalur peradilan informal yang dimiliki oleh masing-masing etnis.
Kekecewaan mana juga didasari pada kenyataan bahwa sistem peradilan negara tidak mampu menangkap sisi emik yang merupakan substansi terdalam dari etnis tersebut seperti prasangka berupa sikap antipati yang didasarkan pada suatu cara menggeneralisasikan yang salah, tidak fleksibel dan kedua stereotif berupa keyakinan seorang terhadap orang lain, karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman (Alo Liliweri, ibid:175).
Munculnya prasangka ini menurut Johnson (Alo Liliweri, ibid) disebabkan karena beberapa hal diantaranya pertama adalah gambaran perbedaan antara kelompok, kedua nilai yang di miliki kelompok lain nampaknya sangat menguasai kelompok minoritas, ketiga adanya stereotif dan keempat adanya perasaan superior pada kelompok sendiri. Sedangkan menurut Zastrow munculnya prasangka pada kelompok tertentu dikarenakan oleh beberapa hal yaitu pertama proyeksi atau usaha untuk mempertahankan cirri diri sendiri secara berlebihan, kedua frustasi, agresi, kecewa dan mengarah pada sikap menantang, ketiga berhadapan dengan ketidaksamaan dan kerendahdirian, keempat kesewenang-wenangan, kelima alasan histories, keenam persaiangan yang tidak sehat dan menjurus kearah eksploitasi, ketujuh cara-cara sosialisasi yang berlebihan dan kedelapan adalah memandang kelompok lain dengan pandangan yang sinis.
Secara sederhana stereotif muncul dikarenakan adanya perbedaan budaya antara budaya orang atau kelompok yang melihat dengan budaya orang atau kelompok yang dilihat. Ketika suatu kelompok atau suatu masyarakat adat dilihat oleh etnis atau kelompok lain yang memiliki ragam budaya yang berbeda, artinya perspektif atau cara pandang orang tersebut yang memiliki budaya yang berbeda (outlook forward), maka biasanya ukuran yang digunakan adalah ukuran budaya orang yang melihat tersebut. Sangat berbeda jika dalam melihat keberadaan suatu kelompok masyarakat dengan menggunakan dan pendekatan sistem budaya yang ada pada masyarakat tersebut (inlook forward), maka hasilnya akan berbeda dengan yang pertama, berbagai macam kearifan serta nilai yang sangat tinggi akan ditemukan dalam masyarakat tersebut.
Berbeda secara konsepsional dengan sistem peradilan negara, sistem peradilan lokal (sistem peradilan adat) dalam gerak dan mekanisme tidaklah terlalu menekankan aspek prosedural yang bersifat mekanik, tetapi lebih kepada upaya bagaimana persoalan yang dihadapkan kepadanya dapat terselesaikan dengan baik. Pencarian dan penegakan pada penyelesaian permasalahan dengan melihat substansi dasari dari sebuah persoalan merupakan ciri yang juga melekat dalam sistem peradilan lokal, bahkan Peradilan lokal memiliki cara yang paling elastis dalam mengakomodasi setiap persoalan yang ada terutama pada etnis dimana sistem peradilan tersebut ada dan tumbuh berkembang. Hal ini bisa dilihat dari studi yang dilakukan oleh Kopong Medan (2006) yang menemukan model peradilan yang dikembangkan masyarakat Lamaholot di Flores Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah model “peradilan rekonsiliatif”, yakni model peradilan yang lebih berorientasi kepada upaya membangun kembali relasi sosial para pihak yang bertikai atau yang terlibat dalam kasus kriminal. Namun ketika persoalan tersebut mulai merambah pada sengketa yang melibatkan dua orang dari dua kelompok etnis yang berbeda, maka biasanya sistem peradilan lokal terjebak pada bias budaya dari etnis dimana sistem peradilan lokal tersebut digunakan.
D. Peradilan Altertantif: Tawaran Konsepsional
Kedua sistem peradilan—baik peradilan Negara maupun peradilan adat/lokal—memiliki tingkat legitimasi masing-masing dalam masyarakat, terutama menyangkut proses penyelesaian konflik yang terjadi, sehingga terkadang penyelesaian yang dilakukan oleh satu sistem peradilan oleh kalangan tertentu diterima adanya, tetapi pihak lain menolaknya.
Upaya pencarian model alternatif, disamping model-model yang sudah ada, sangat dimungkin sekali. Karena sebagai suatu sistem, lembaga peradilan bukanlah sistem tertutup tetapi melainkan sistem terbuka, sehingga dimungkinkannya adanya pengaruh sistem sosial terhadap pelaksanaan tugasnya, misalnya pengaruh perkembangan politik, ekonomi, sosial budaya, hankam, iptek dan sebagainya (Muladi, 2002:216). Hal senada juga dikatakan oleh Goldstein (1976) bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) tidaklah dapat dipandang sebagai “deterministic sistem” yang bekerjanya dapat ditentukan secara pasti namun harus dilihat sebagai “probabilistic sistem”, dimana hasilnya secara pasti tidak dapat diduga.
Upaya penciptaan lembaga alternatif—yang menggabungkan berbagai sistem dan kearifan yang ada dalam masyarakat—sebenarnya sudah dilakukan oleh banyak Negara. Di Amerika Serikat misalnya sejak tahun 1974 penciptaan lembaga alternatif ini mulai dilakukan (Trubek, 1981:401, Nolan Haley, 1992). Saluran-saluran alternatif tersebut antara lain melalui negosiasi, arbitrase dan lain sebagainya, yang kesemuanya didasari pada pemikiran bahwa penyelesaian sengketa melalui proses pengadilan dipandang banyak memerlukan biaya yang tinggi dan membutuhkan waktu yang relatif lama. Bahkan Nolan Haley dan Rajagukguk (2000:1-1) menilai sistem peradilan formal merupakan suatu bentuk kepanjangan tangan dari penguasa dan tidak bersih, sehingga keputusannya cenderung memihak.
Menyadari akan segala kelemahan yang dimiliki oleh sistem peradilan pidana dalam menyelesaikan berbagai kasus criminal yang terjadi di masyrakat—dan termasuk didalamnya kasus-kasus konflik dan tindakan kekerasan—maka dewasa ini mulai muncul pemikiran-pemikirana lternatif lain. Griffith (1970:359-383) dan Muladi (1995:15-16) misalnya menawarkan model ketiga (the third model) yang disebut “family model”, yang dipandang lelbih tepat untuk menggambarkan ralitas yang berkembang dalam proses peradilan, karena lebih menekankan upaya untuk mendamaikan kepentingan-kepentingan para pihak. Family model sangat banyak mengakui harkat dan martabat tersangka/ terdakwa, dan hal itu tidak dikaitkan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Pandangan Griffith seperti itu mengnisyaratkan bahwa orang yang disangka/didakwa sebagai pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana harus diperlakukan sebagai bagian dari keluarga sehingga “cap jahat” (stigma) yang cenderung diletakkan pada dirinya menjadi hilang.
Selain itu, King (Hiarej, 2002) juga mencoba menggagas dan mengembangkan “model ketiga” versi lain yang disebut medical model yang lebih menekankan aspek penyembuhan atau menormalkan kembali hubungan-hubungan sosial yang rusak antara para pihak yang bertikai. Selain medical model, King juga memperkenalkan model peradilan lain yang menggunakan pendekatan sosial yakni bureaucratic model, status passage model, dan power model. Demikian pula, Braithwaite (2005) menawarkan model “Restorative Justice” (peradilan restorasi) yang selama ini dipaktekkan oleh masyarakat jepang, yang lebih berorientasi pada upaya-upaya untuk memulihkan hubungan sosial antara para pihak yang bertikai.
Demikian juga dengan model “peradilan rekonsiliatif” yang dikembangkan oleh Kopong Medang (2006) sebagai hasil dari penelitian yang dilakukan di masyarakat Lamaholot di Flores Nusa Tenggara TImur dalam menyelesaikan kasus kriminal yang dihadapi, baik melalui forum adat, forum Negara maupun forum campuran, karena sejalan dengan tradisi adat “mela sareka” atau “tapan halo” (perdamaian adat). Karena tradisi adat “mela sareka” atau “tapan halo” tersebut sesungguhnya berakar dari nilai budaya “harmoniasi” yang juga dianut oleh kelompok masyarakat lain di Indonesia dan bahkan seluruh masyarakat di belahan timur dunia, maka menurut Kopong Medan model peradilan rekonsiliatif ini bisa dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah model semesta.
Kalimantan Barat sebagai satuan wilayah yang memperlihatkan tingkat keberagaman etnis dengan segala sistem budaya yang ada, juga memiliki sistem peradilan lokal/adat, termasuk pada masyarakat etnis sebagai cara yang dikembangkan dalama rangka menyelesaikan sengketa dan persoalan yang ada dalam masyarakat. Namun demikian pola penyelesaian yang dilakukan oleh sistem peradilan lokal, sering terjebak pada persoalan di atas yaitu prasangka, stereotif dan bias budaya.
Dengan melihat berbagai kelemahan dan kekuatan yang ada pada masing-masing sistem peradilan, penulis melihat ada tiga model sistem peradilan yang bisa dikembangkan dalam masyarakat multikultural, terutama di Kalimantan Barat dalam menyelesaikan setiap persoalan yang ada, terutama dalam menyelesaikan persoalan atau sengketa yang mengarah pada kekerasan etnis secara massif. Model-model tersebut tentunya mendasarkan pada posisi masing-masing sistem peradilan pada etnis yang rentan terhadap konflik dan kekerasan, seperti etnis Madura, Melayu dan Dayak serta posisi peradilan Negara.
I. Model I: pada model pertama ini, sestem dan pola penyelesaian dari Negara tidak dimunculkan. Model ini hanya menampilkan sistem dan model yang ada pada masing-masing etnis. Dari model dan pola ini setidaknya ada empat sistem pola penyelesaian yaitu pertama peradilan Dayak Madura, kedua peradilan malayu dayak, ketiga peradian Madura Melayu dan keempat peradilan Dayak Melayu dan Madura.
II. Model II. Pada model ke II ini ada satu prinsip bahwa sistem peradilan negara tetap menempatkan yang utama. Penempatan peradilan Negara pada tempat yang utama bisa dalam dua kemungkinan yaitu kemungkinan pertama penyelesaiannya dilakukan terlebih dahulu pada masing-masing sistem yang ada untuk kemudian dibawa ke sistem peradilan Negara. Kemungkinan kedua persoalan tersebut diselesaikan terlebih dahulu menurut pola dan sistem peradilan negara, untuk kemudian diserahkan kembali kepada sistem masing-masing etnis. Tetapi penyerahan kembali kepada sistem dan pola masing-masing etnis ini hanya dilakukan pada hal-hal yang memang oleh sistem peradilan Negara tidak bisa melihat dan menyelesaikannya, seperti melihat dan menyelesaikan rasa dendam dan lain sebagainya.
III. Sedangkan model ke III adalah model peradilan alternatif. Kemunculan model ini tentunya merupakan sintesa dari berbagai kelemahan dan kekuatan yang ada pada sistem dan pola penyelesaian yang ada pada etnis Dayak, Madura, dan Melayu serta peradilan Negara sendiri. Diharapkan dengan model III, sistem dan pola peradilan ini mampu mengakomodasi dan menjawab semua persoalan yang ada dan mampu menjadi pola penyelesaian yang ideal untuk masing-masing etnis, sehingga kekerasan etnis yang bersifat massif bisa dihindari.



E. Simpulan
Dengan analisis budaya, terlihat jelas bahwa sistem peradilan Negara kiranya mengalami keterbatasan dalam menyelesaikan sengketa etnis yang terjadi. Hal mana salah satu penyebabnya adalah mekanisme, sistem serta prosedur yang dikembangkan oleh sistem peradilan negara dirasakan oleh masyarakat lokal—yang dalam hal ini masyarakat atau etnis Melayu, dayak dan Madura—tidak mampu menangkap substansi dasar dari terjadinya perselisihan diantara mereka. Karena ketidakmampuannya menangkap substansi terdalam dari perselisihan tersebut menjadikan penyelesaian yang dilakukan oleh sistem peradilan negara sulit diterima oleh masing-masing etnis, dan masing-masing etnis yang bertikai tetap menganggap permasalahan yang ada tidak pernah terselesaikan dengan baik.
Demikian juga sebaliknya, jika sengketa dua orang dari dua etnis yang berbeda harus diselesaikan oleh salah satu sistem peradilan adat mereka, maka biasanya keputusan yang dijatuhkan oleh sistem peradilan lokal tersebut sulit untuk dilaksanakan oleh salah satu pihak dari etnis yang berbeda tersebut. Hal ini terjadi karena sistem hukum sistem peradilan lokal tersebut dinilai hanya cocok untuk etnis dimana sistem hukum dan sistem peradilan tersebut ada. Oleh karena itu, penciptaan lembaga peradilan alternatif sebagaimana tersebut diatas menjadi urgen keberadaannya dalam upaya menyelesaikan persoalan atau sengketa etnis yang ada di Kalimantan Barat. Oleh karena itu, perlu adanya kolaborasi yang mengarah pada instituionalisasi lembaga peradilan adat yang ada guna dapat menyelesaikan persoalan sehingga akan terhindari terjadinya konflik etnis yang massif sifatnya.
Model alternatif seperti tergambar di atas merupakan model yang kiranya dapat digunakan sebagai upaya memperdayakan dan melembagakan sistem peradilan lokal di tengah-ditengah sistem peradilan negara.













DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal (Penyunting), Analisis Eksistensial: Untuk Psikologi Dan Psikiatri, Penerbit Refika Aditama Bandung 2002.
Adian, Donny Gahral, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai Thomas Khun, Penerbit Teraju, Jakarta. 2002.
----------------------------. Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer, Penerbit Jalasutra Yogyakarta. 2002.
Bakker, Anton. Metode-Metode Filsafat, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. 1986.
Barker, Chris, Cultural Studies: Teori dan Praktek, Penerbit Kreasi Wacana Yogyakarta. 2004,
Berten, K. Ringkasan Sejarah Filsafat, Penerbit Kanisius Yogyakarta. 2002.
Bleicher, Josef (alih bahasa oleh Masmuni Mahatma), Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat dan Kritik, Penerbit Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta. 2003.
Budi, Hardiman F. Kritik Ideologi: Pertauatan Pengetahuan dan Kepentingan, Penerbit Kanisius Yogyakarta. 1990.
Budiardjo, Meriam (Editor). Masalah Kenegaraan, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta. 1972.
-------------------------, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Jakarta. 1977,
Bungin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. 2003.
Dahl, Jens. Masyarakat Adat Di Dunia Eksistensi dan Perjuangannya, Penerbit IWGIA Dan Institute Dayakologi, Pontianak-Indonesia. 2001.
Djuweng, S. “Pembangunan dan Penindasan Pelajaran Dari Masyarakat Dayak,” Paper Yang Dipresentasikan Dalam Lokalarya United Nation Economics And Sosial Council (UNISCO) Di Jakarta,. 1999
Drijarkara, S.K. Filsafat Manusia, Penerbit Kanisius, Cet-13, Yogyakarta. 1994.
--------------------, Driyarkara Tentang Manusia, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1978.
--------------------, Driyarkara Tentang Negara Dan Bangsa, Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1978.
--------------------. Percikan Filsafat, Penerbit PT, Pembangunan, Jakarta, 1964.
Faisal, Sanafiah, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi, Penerbit Y A 3 Malang,. 1990,
Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi, Insist Press, Yogyakarta, 2002.
Galtung, Johan, The True World: A Transnational Perspectives, The Free Press, New York. 1980.
Geertz, Clifford, (Aswab Mahasin-Penerjemah), Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, 1983.
Giddens, A. Capitalism And Modern Social Theory, Cambridge University Press, London, 1971.
Halliday, M.A.K. & Hasan, Ruqaiya. 1984. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotic Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Harun, M. Yahya, Perang Salib dan Pengaruh Islam Di Eropah, Penerbit Bina Usaha Yogyakarta. 1987.
Ihromi T.O. (Penyunting), Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, Penerbit Yayasan Obor, Jakarta. 2001.
John Bamba,”Mengayau Atau Perang? Fenomenologi Kekerasan Antar Etnis di Kalimantan Barat”, Makalah untuk Seminar Dalam Rangka Kampanye Melawan Diskriminasi Ras, Etnis, Agama, Jender, Xenophobia dan Bentuk-Bentuk Intoleransi Lainnya "Hindari Kekerasan. Hentikan Diskriminasi. Kita Semua Manusia" Di Pontianak 18 September 2001 Kerjasama Komnas HAM-Insitut Dayakologi 2001.
Kleden, Ignas. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta. 1987.
Koentjaraningrat (Ed), Masalah-Masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi Terapan, Penerbit LP3ES, Jakarta, 1982.
----------------------, Beberapa Metode Antropologi Dalam Penyelidika-Penyelidikan Masyarakat Dan Kebudayaan Di Indonesia, Penerbit Universitas Jakarta, 1958.
-----------------------, Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, Penerbit
Krisnugroho, & Thomas Santoso, “Episode Tahun Kekerasaan 1996-1999”, Dalam Paul Tahalele Dkk (Editor), Indonesia Di Persimpangan Kekuasaan: Dominasi Kekerasaan atas Dialog Publik, Penerbit The Go-East Institute Dengan Forum Komunikasi Kristiani Indonesia (Fkki), Jakarta. 2000,
Liliweri, Alo, W.S. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta, Penerbit Pustaka Pelajar. 2001,
-------------------------. Prasangka Dan Konflik, Komunikasi Lintas Masyarakat Multicultural, penerbit Lkis, Yogyakarta. 2005.
Mas’oed, Mohtar et.al (Editor), Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu, Penerbit P3PK UGM Cet Kedua. 2001.
Morris, Brian (Imam Khoiri -Penterjemah). Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, Penerbit AK Group Yogyakarta. 2003.
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik Dan Sisitem Peradilan Pidana, Penerbit Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, Cet-II, 2002.
----------------, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, Cet-I, 1995.
----------------, Tripartite Missons Program Doctor (S3) Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Disampaikan Pada Acara Kuliah Umum Mahasiswa Program Doctor (S3) Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 29 Januari 2004.
----------------, Wajah Hukum Indonesia Menapak Tahun 2002, Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Sehari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), Tanggal 26 Januari 2002.
Nugroho,Heru, Menumbuhkan Ide-Ide Kritis, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan: Dalam Teori dan Praktik, Penerbit CV. Remaja Karya, Bandung. 1988.
-------------------, Interpretasi, Remadja Karya, Bandung. 1987.
Pospisil, L. Kapauku Papuans And Their Law, New Haven, Yale University Press. 1958.
Packer, Herber L. The Limit Of The Criminal Sanction, California, Standford University Press, 1986.
Roeslan, Saleh, Benarkah Peradilan Pidana Mencerminkan Ketidaksamaan Dalam Penerapan Hukum? Bahan Kuliah Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum, Semarang, Undip. 1996.
Rahardjo, Satjipto, Sistem Peradilan Pidana Dalam Wacana Kontrol Sosial, Artikel Dalam Jurnal Hukum Pidana Dan Kriinologi, Vol 1/No. 1 1998.
------------------------, Beberapa Catatan Mengenai Pengembangan Konsep Dan Kerangka Teoritis Hukum, Dalam Majalah Masalah-Masalah Hukum FH. Undip No. 6 Tahun 1983.
------------------------, Budaya Hukum Dan Penyelesaian Sengketa Perdata Di Luar Pengadilan, Jurnal Magister Hukum, Vol. 2. No.4. 2000.
------------------------, Dalam Karolus Kopong Medan & Frans Rengka (Ed), Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003.
------------------------, Hukum Dalam Jagad Ketertiban, Penerbit UKI Press Jakarta 2006,
Soekanto, Soerjono, Sosiologi suatu Pengantar, UI Press Jakarta. 1970.
---------------------------, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press Jakarta, 1984.
Suparlan, Parsudi. “Membangun Kembali Indonesia Yang Bhenika Tunggal Ika Menuju Masyarakat Multikultural”, Keynot Address, Pada Sesi Pleno I Pada Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia Ke-3 Di Universitas Udayana, Bali, Tanggal 16-19 Juli 2002.
Suseno, Frans Magnis, Berfilsafat dari Konteks, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1991.
--------------------------------. Filsafat-Kebudayaan-Politik: Butir-Butir Pemikiran Kritis. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta 1992.
--------------------------------, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1992.
--------------------------------, Kuasa dan Moral, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2001.
--------------------------------. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Penerbit Kanisus, Yogyakarta 1987.
Trubek, David M. Toward A Sosial Theory Of Law, The Yale Law Journal, Vol. 82, I November, 1972.
Tanya, Bernar L, Beban Budaya Lokal Menghadapi Hukum Negara, Analisis Budaya Atas Kesulitan Sosio-Kultural Orang Sabu Menghadapi Regulasi Negara, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Semarang, PDIH UNDIP, 2000.
Yaqin, M. Ainul, M.Ed. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan, Penerbit Pilar Media Jogyakarta 2005.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2003.
Wignjosoebroto, Soetandyo. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1994.
Wiranat, I Gede, A.B. Hukum Adat Indonesia, Perkembangan Dari Masa Ke Masa, Bandung PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
Wignyana, I Made, Peranan Lembaga Tradisional (Desa Adat) Dalam Penyelesaian Konflik, Suatu Kajian Kriminologi. Jurnal Hukum Pidana Dan Kriminologi, 1998.




* Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, menyelesaikan studi S3 pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2007.