Jumat, 30 Juli 2010

PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS DAN INSTITUSIONALISASI
PENGADILAN LOKAL YANG BERBASIS BUDAYA
Oleh: Dr. Hermansyah, SH.M.Hum*
Abstract
Konflik, etnisitas serta multikultural merupakan keniscayaan, dan konflik yang terjadi sering dikarenakan pemahaman yang keliru tentang adanya perbedaan tujuan kehidupan, keragaman suku serta pluralitas kebudayaan. Dalam realitasnya, penyelesaian konflik yang terjadi sering diselesaikan melalui jalur hukum pidana (criminal justice system), namun penyelesaian yang dilakukan melalui jalur hukum Negara menuai rasa ketidakpuasan karena terlalu menekankan pada keadilan prosedural (procedural justice), dan kekerasan ditempuh masyarakat sebagai bentuk serta ekspresi dari ketidakpuasan terhadap sistem peradilan negara. Pada hal dalam masyarakat tersedia peradilan lokal (peradilan adat) yang sudah melembaga yang dapat digunakan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi, apalagi mengingat sifat dan karakteristik peradilan lokal yang lebih menekankan pada aspek keadilan substanstif (substantive justice) dalam penyelesaiannya dan memiliki basis sosial (social basic) serta mendasarkan pada basis budaya (cultural basic) masyarakat yang jelas.
Kata kunci: konflik, kekerasaan, multikultural dan sistem peradilan pidana, dan peradilan lokal
A. Pendahuluan
Sebuah catatan historis yang cukup mengejutkan telah dilakukan oleh Affandi (2004: 1-2) dan Koentjaraningrat (1993:2-3) yang memperlihatkan bahwa konflik antar suku bangsa (etnis) telah berlangsung sepanjang sejarah kehidupan manusia. Konflik tersebut tidak saja terjadi di Negara-negara berkembang atau Negara yang sedang dilanda krisis ekonomi, melainkan sama kuatnya menerobos masuk ke dalam kehidupan negara-negara maju yang kehidupan ekonominya tergolong kuat, bahkan konflik juga melanda pada negara-negara yang fondasi kehidupan demokrasinya sudah kokoh. Dan salah satu penyebab konfllik tersebut adalah adanya keragaman etnis dan kultural.
Keragaman etnis dan kultural, disatu sisi dipandang sebagai kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya, tetapi disisi lain kemajemukan tersebut memiliki potensi yang besar bagi munculnya konflik-konflik antar etnis (suku), antar daerah, antar agama, antar klas ekonomi dan Indonesia sangat berpengalaman dalam hal konflik ini.
Khusus di Kalimantan Barat, konflik antar etnis ini dalam sejarahnya sudah dimulai pada tahun 1950 di Samalantan Kabupaten Sambas, Terap-Toho Kabupaten Pontianak (1969), Bodok Kabupaten Sanggau (1976), Sungai Pinyuh Kabupaten Pontianak (1978), Sindoreng Samalantan Kabupaten Sambas (1979), Sungai Ambawang Kabupaten Pontianak (1981), Tumbang Titi Kabupaten Ketapang (1994), Sanggau Ledo Kabupaten Sambas (1996/1997) dan di Siantan Tengah Kotamadya Pontianak pada tahun 1997 (Tiras, 1997:81).
Realitas konflik dan kerasaan yang melanda hampir diseluruh wilayah Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat sebagai diuraikan di atas membutuhkan pengkajian yang mendalam untuk menemukan solusi yang tepat dalam mengatasi konflik dan kekerasan yang terjadi pada masyarakat multi etnis atau masyarakat yang multikultural. Keseriusan dalam menemukan solusi yang tepat itu, menurut Suparlan (2000:1-14) sangat penting untuk digalakkan agar masalah kemajemukan Indonesia itu jangan sampai menjadi pemicu keterpecahan sebagaimana yang dialami oleh Negara-negara lain di dunia, seperti Soviet Rusia dan Yugoslavia yang terpecah-pecah menjadi negara-negara baru yang nasionalismenya dilandasi oleh kesuku-bangsaan dan keyakinan keagamaan.
Solusi akademis yang ditawarkan untuk mengatasi masalah konflik dan kekerasan etnis ini sudah banyak dilakukan, namun tawaran penyelesaian yang diberikan pada umumnya berkisar pada persoalan ekonomi, sosial politik dan penyelesaian yang mendasarkan pada perbedaan dan streotif budaya. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat penelitian pembangunan pedesaan dan kawasan universitas gajah mada (P3PK) misalnya, menemukan konflik dan kekerasan yang terjadi merupakan bentuk ekspansi kapital dan birokrasi dalam masyarakat sanggau ledo Kalimantan Barat. Kondisi yang demikian itu sebagai pemicu terjadinya alienasi dan marjinalisasi pada masyarakat lokal (Mas’oed, 2001:23-64). Bahkan dari penelitian yang dilakukan oleh Djuweng (1996) dan Andri (2003) menemukan bahwa kekerasan etnis yang terjadi di Kalimantan Barat lebih disebabkan oleh perebutan hasil alam antara masyarakat pendatang dengan penduduk asli. Bahkan kajian Peluso sebagaimana dikutip oleh Bamba (2001) menemukan bahwa konflik etnis yang terjadi di Kalimantan lebih disebabkan oleh perbedaan dan stereotif budaya masing-masing etnis yang saling berbenturan.
B. Permasalahan dan Fokus Pembahasan:
Fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah bagaimana mengoptimalkan dan melembagakan sistem peradilan lokal dalam menyelesaikan konflik etnis. Diambilnya fokus tulisan ini dikarenakan dalam kenyataannya, disamping sistem peradilan Negara, di Kalimantan Barat terdapat sistem peradilan lokal atau biasa yang dikenal dengan sistem peradilan adat yang keberadaannya jauh sebelum sistem peradilan Negara ada ditengah-tengah kehidupan sosial mereka, yang cukup efektif dalam dalam menyelesaikan setiap persoalan sosial pada mereka.
Mendasarkan pada fokus pembahasan seperti tersebut di atas, makan permasalahan dalam tulisan ini adalah sampai sejauhmana sistem peradilan lokal mampu dan dapat dilembagakan dalam menyelesaikan konflik etnis di Kalimantan Barat, mengingat begitu kuatnya sentralisasi hukum sebagai politik hukum Negara dimana salah satu agenda dari politik hukum tersebut adalah menyelesaikan setiap persoalan yang ada dalam masyarakat melalui sistem peradilan Negara, sementara waktu sistem peradilan Negara yang terbentuk tidak memiliki basis sosial yang kuat dari masyarakat setempat. Inilah yang menjadi mula persoalan yang ada ketika perselisihan yang terjadi antara dua etnis yang berbeda diselesaikan melalui proses atau sistem peradilan Negara yang tidak memiliki akar budaya masyarakat setempat, menjadikan perselisihan tersebut mencuat menjadi konflik etnis yang massiv sifatnya.
C. Etnis Dan Konflik: Pemahaman Dasar
Secara etimologis, kata etnis berasal dari bahasa yunani yaitu “etnichos” yang digunakan untuk menerangkan keberadaan sekelompok penyembah berhala atau kafir. Dalam perkembangannya kemudian istilah etnis mengacu pada kelompok yang diasumsikan memiliki sikap fanatik terhadap ideologinya. Sedangkan dalam ilmu sosial kata etnis itu sendiri mengacu pada sekelompok penduduk yang mempunyai kesamaan sifat-sfat kebudayaan misalnya bahasa, ada istiadat, perilaku dan karakteristik budaya serta kesamaan sejarah (Alo Liliweri, WS, 2001:335 dan Chris Barker, 2004:201).
Istilah etnis, etnisitas dan etnisisme sebenarnya merupakan hal yang relative baru dalam perbincangan sehari-hari dalam bahasa Indonesia. Sebagai konsep ilmu sosial, demikian Ignas Kleden, etnisitas baru berumur sekitar 30-an tahun, yakni setelah Frederik Barth mempublikasikan tulisannya yang berjudul Ethnic Groups and Baounderies di tahun 1969 (ignas kleden, 2002:6). Pengunaan istilah etnis, etnisitas ini untuk menggantikan istilah suku, sukuisme atau kesukuan yang banyak digunakan sebelumnya. Dan dari sisi penggunaannya, istilah etnis sebelumnya merujuk pada kelompok-kelompok masyarakat yang dari dari luar, misalnya menyebut etnis cina, arab (Emmanuel Gerit Singgih, 2002:ix).
Setidaknya terdapat empat pendekatan teoritis dalam melihat fenomena etnisitas ini, yaitu primordialisme, konstruktivisme, instrumentalisme dan interaksionisme. Pendekatan primordialisme melihat fenomena entisitas dari katagori-katagori sosio biologis. Dalam pendekatan ini, umumnya kelompok-kelompok sosial dikarakteristikan oleh gambaran-gambaran kewilayahan, agama, kebudayaan bahasa dan organisasi social. Pendekatan ini mengedapankan bahwa etnisitas sebagai sesuatu yang given, sesuatu yang memang sudah ada dalam masyarakat. Etnisitas dalam model pendekatan pertama ini masih bersifat primordialis dan askriptif, bahwa seorang menjadi etnis tertentu bukan karena pilihan dirinya.
Pendekatan konstruktivisme yang dikembangkan oleh Frederik Barth, memandang identitas etnis sebagai hasil dari proses sosial yang rumit. Disebut juga sebagai pendekatan situasionalis, ditekankan bahwa organisasi sosial dari perbedaan-perbedaan entis adalah hasil dari interaksi dengan kelompok sosial lainnya. Pendekatan lain adalah pendekatan instrumntalis yang lebih menaruh perhatian pada proses manifulasi dan mobilitas poplitik (ubed abdillah, 2002).
Sedangkan pendekatan interaksionis terhadap kemunculan konsep etnis menurut EIlliam Graham Summer, seorang antropolog yang beraliran interaksionis, bermula dari pandangan tentang manusia yang bersifat individualistis, serta cenderung mengikuti naluri biologi mementingkan diri sendiri. Namun karena dia harus berhubungan antar manusia, maka terjadilah sifat hubungan yang antagonistic (pertentangan yang menceraiberaikan). Supaya pertentangan itu dapat dicegah, perlu ada “folkways” yang bersumber pada pola-pola tertentu. Kemudianmereka yangmempunya “folkways” yang sama cenderung mengelompok dalam satu kelomok yang disebut kelompok etnis (Alo Liliweri, Op Cit: 335).
Sebagai sebuah konsep, konflik dan kekerasan adalah dua istilah yang dalam penggunaan dan pengertiannya sering tidak jelas. Konflik dimaknai sebagai kekerasan dan kekerasan dimengerti atau dipahami sebagai salah satu bentuk konflik. Pada hal, dua hal tersebut adalah berbeda. Secara sederhana konflik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Mitchell, 198, Liliweri, 2005:249). Sedangkan kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental , sosial atau lingkungan, dan /atau menghalangi seorang untuk meraih potensi secara penuh atau “any avoidable impediment to self realization” (Mitchel, 1981, Gurr, 1950:2-4 dan Galtung, 1980; 67). Dari pengertian tersebut kiranya dapat dikatakan bahwa konflik tidak sama dengan kekerasan.
Konflik identik dengan masyarakat serta merupakan kenyataan hidup, tidak terhindarkan (kartikasari, 2004:4), artinya tidak ada masyarakat yang tidak berkonflik. Dalam masyarakat yang bersahaja sekalipun tetap muncul kepermukaan bahkan menurut Posposil konflik tersebut muncul dalam bentuk yang berkepanjangan (Ihromi, 1984:73). Oleh karena itu, konflik bukan lagi merupakan kenyataan empiris, melainkan persoalan esensial manusia (Magnis Suseno, 1991:200). Apalagi dalam masyarakat yang modern yang kehidupan sosialnya tampak semakin kompleks dan pluralis, konflik tidak akan terhindarkan. Berbagai bidang kehidupan dapat menjadi sumber konflik yang esensial, mulai dari kehidupan bertetangga, bermasyarakat dan bernegara, lapangan kehidupan ekonomi, politik budaya bahkan dalam perspektif pelaksanaan hak dan kewajibanpun konflik menjadi suatu persoalan (Poespoprodjo, 1988:265).
Setidaknya ada enam teori yang menjelaskan mengapa konflik tersebut merupakan persoalan esensial manusia, yakni (1) teori hubungan masyarakat, (2) teori negosiasi prinsip, (3) teori kebutuhan manusia, (4) teori identitas, (5) teori kesalahpahaman antara budaya, dan(6) teori tranformasi konflik (Karikasari, 2000:8-9). Masing-masing teori tersebut memiliki asumsi yang berbeda satu dengan yan glainnya.
Pertama, dalam teori hubungan masyarakat misalnya, konflik terjadi disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran dari teori ini adalah meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya. Kedua, toeri negosiasi prinsip berasumsi dan beranggapan konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Ketiga, toeri kebutuhan manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar dan disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia, baik fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi, keamanan dan pengakuan identitas, partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan dari teori ini,. Keempat, asumsi teori identitas melihat konflik muncul karena adanya identitas yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak terselesaikan. Kelima, asumsi teori kesalahpahaman budaya melihat konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran dari teori ini adalah menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi stereotif negative yang mereka miliki tentang pihak lain dan meningkatkan keefektifan komunikasi antar budaya. Sedangkan keenam, teori transformasi konflik berasumsi bahwa konflik dalam masyarakat terjadi karena masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Menurut Fisher (2000) dan Liliweri (2005:286-287) ada sejumlah terminologi yang sering digunakan dalam upaya untuk menyelesaikan konflik sosial, antara lain pencegahan konflik, penyelesaian konflik, pengelolaan konflik, resolusi konflik, dan transformasi konflik. Dari sekian banyak katagori penyelesaian konflik tersebut, tampaknya yang paling popular digunakan, selain istilah penyelesaian konflik itu sendiri adalah manejemen konflik dan resolusi konfli, dan kekerasan adalah salah satu substansi yang ada dari berbagai terminologi tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa kekerasan yang terjadi merupakan cara yang ditempuh oleh masing-masing pihak dalam menyelesaikan perbedaan-perbedaan tujuan yang inheren dalam kehidupannya meskipun cara-cara lain yang sifatnya lebih positive, produktif masih banyak seperti dialog dan musyawarah.
Sedangkan multikulturalisme, menurut Amin dalam Yaqin (2005), sebetulnya merupakan sebuah wacana untuk memahami perbedaan yang ada pada sesama manusia, dan berusaha menyakinkan agar perbedaan itu dapat diterima sebagai hal yang alamiah (natural/sunnatullah) dan tidak menimbulkan tindakan diskriminatif sebagai buah dari pola perilaku dan sikap hidup yang mencerminkan iri hati, dengki dan buruk sangka. Pola sikap dan perilaku yang demikian itu, oleh Robinson (2000), Bubant (2000) dan Aragon (2000), dipandang sebagai pemicu kerusuhan dan kekerasan.
Khusus di Indonesia ada istilah Bhennika Tunggal Ika yang telah dijadikan semboya kehidupan bangsa, dimana secara sederhana istilah tersebut bermakna adanya keragaman namun tetap dalam lingkup dan konteks budaya yang tunggal yaitu budaya Indonesia. Namun dalam perjalannya konsep Bhennika Tunggal Ika tersebut mengalami distorsi pemahaman akan pemaknaan sehingga memunculkan sistem budaya yang tunggal, kuat, dominan yang kemudian mengenyampingkan budaya lain yang sifatnya lokal. Pemaknaan yang terdistorsi ini juga berlanjut dalam bidang hukum, dimana sistem peradilan negara dinilai sebagai cerminan dari budaya ke Indonesiaan, pada hal secara historis kemunculan sistem peradilan negara yang berlaku seperti dewasa ini bukanlan berakar dari sistem peradilan lokal yang ada dan khas Indonesia.
Mendasarkan pada kenyataan historis tersebutlah, maka dalam tulisan ini digunakan istilah multikulturalisme sebagai bagian dari upaya menghindarkan dari pemahaman yang absolut akan budaya tertentu. Sehingga dengan penggunaan istilah multikulturalisme ini diharapkan sistem hukum negara tetap diakui keberadaan dan sementara waktu sistem peradilan lokal juga diakui keberadaannya guna menyelesaikan persoalan sosial yang syarat dengan muatan budaya masyarakat setempat.
D. Peradilan Negara Dan Lokal: Pilihan Dilematis
Sebagai sebuah persoalan sosial, banyak cara yang bisa ditempuh dalam menyelesaikan konflik yang ada, dan cara-caa tersebut tentunya memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Kekerasan misalnya, sebagai salah satu cara penyelesaian konflik jelas merupakan cara yang paling rendah tingkat akomodasinya terhadap nilai-nilai dasar kemanusian. Bahkan dapat dikatakan kekerasan tidak menghiraukan sama sekali akan nilai dan prinsip dasar kemanusian
Cara yang dinilai memiliki tingkat akomodasi terhadap berbagai nilai dasar kemanusian dalam menyelesaikan konflik adalah melalui jalur peradilan. Dikatakan demikian, karena diharapkan melalui jalur peradilan berbagai persoalan yang ada dapat tergambarkan dengan jelas, dan penyelesaian yang dilakukan memberikan keadilan pada semua pihak. Namun demikian, tidak jarang sistem yang dinilai memiliki tingkat akomodasi terhadap nilai-nilai kemanusian memperlihatkan sisi dan wajah yang kontradiksi. Berbagai bentuk pembantaian nilai kemanusian dapat terjadi dan dilakukan melalui proses peradilan ini.
Demikianlah misalnya peradilan negara yaitu sistem peradilan Negara yang dikembangkan bukan dan tidak berakar dari sistem budaya bangsa Indonesia sendiri, melainkan diadopsi dari luar, yaitu dari sistem hukum eropa kontinental yang memiliki falsafah, tata nilai serta sistem yang sebelumnya berbeda dengan masyrakat Indonesia (Satjipto Rahardjo, 1996:1).
Berkembangnya birokratisasi dalam sistem peradilan formal, menurut Susanto (1995) membuat keadilan yang dihasilkannya lebih condong kepada keadilan birokratis. Salah satu cri yang paling menonjol dari sistem yang dikembangkan di Indonesia adalah bersifat tertutup bagi orang-orang lain yang secara psikologis dimaksudkan untuk melindungi “kekurangan-kekurangan” dalam cara memperoleh dan mencari keadilan. Persoalan mendasar lain dari sistem peradilan Negara (pidana) sebagaimana dikemukakan oleh Wigjosoebroto (1994:78) penekanan yang terlalu berlebihan terhadap kepastian hukum yang merupakan turunan dari ajaran legisme dari mazhab hukum murni yang lebih mengagungkan rasionalitas, sehingga dalam realitasnya tidak memberikan perlindungan yang berarti kepada masyarakat karena hakim dalam melaksanakan fungsinya selalu melakukan pemihakan-pemihakan, terutama pemihakan kepada pihak yang kuat (powerfull).
Oleh karena itu, masyarakat sering merasa kecewa terhadap hasil dari sistem peradilan pidana yang dianggapnya tidak memenuhi aspek keadilan dan tidak selaras dengan sistem serta persepsi budaya yang dimilliki oleh mereka, sehingga sering masyarakat menempuh cara lain guna menyelesaikan sengketa tersebut yaitu cara kekerasan atau melalui jalur peradilan informal yang dimiliki oleh masing-masing etnis.
Kekecewaan mana juga didasari pada kenyataan bahwa sistem peradilan negara tidak mampu menangkap sisi emik yang merupakan substansi terdalam dari etnis tersebut seperti prasangka berupa sikap antipati yang didasarkan pada suatu cara menggeneralisasikan yang salah, tidak fleksibel dan kedua stereotif berupa keyakinan seorang terhadap orang lain, karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman (Alo Liliweri, ibid:175).
Munculnya prasangka ini menurut Johnson (Alo Liliweri, ibid) disebabkan karena beberapa hal diantaranya pertama adalah gambaran perbedaan antara kelompok, kedua nilai yang di miliki kelompok lain nampaknya sangat menguasai kelompok minoritas, ketiga adanya stereotif dan keempat adanya perasaan superior pada kelompok sendiri. Sedangkan menurut Zastrow munculnya prasangka pada kelompok tertentu dikarenakan oleh beberapa hal yaitu pertama proyeksi atau usaha untuk mempertahankan cirri diri sendiri secara berlebihan, kedua frustasi, agresi, kecewa dan mengarah pada sikap menantang, ketiga berhadapan dengan ketidaksamaan dan kerendahdirian, keempat kesewenang-wenangan, kelima alasan histories, keenam persaiangan yang tidak sehat dan menjurus kearah eksploitasi, ketujuh cara-cara sosialisasi yang berlebihan dan kedelapan adalah memandang kelompok lain dengan pandangan yang sinis.
Secara sederhana stereotif muncul dikarenakan adanya perbedaan budaya antara budaya orang atau kelompok yang melihat dengan budaya orang atau kelompok yang dilihat. Ketika suatu kelompok atau suatu masyarakat adat dilihat oleh etnis atau kelompok lain yang memiliki ragam budaya yang berbeda, artinya perspektif atau cara pandang orang tersebut yang memiliki budaya yang berbeda (outlook forward), maka biasanya ukuran yang digunakan adalah ukuran budaya orang yang melihat tersebut. Sangat berbeda jika dalam melihat keberadaan suatu kelompok masyarakat dengan menggunakan dan pendekatan sistem budaya yang ada pada masyarakat tersebut (inlook forward), maka hasilnya akan berbeda dengan yang pertama, berbagai macam kearifan serta nilai yang sangat tinggi akan ditemukan dalam masyarakat tersebut.
Berbeda secara konsepsional dengan sistem peradilan negara, sistem peradilan lokal (sistem peradilan adat) dalam gerak dan mekanisme tidaklah terlalu menekankan aspek prosedural yang bersifat mekanik, tetapi lebih kepada upaya bagaimana persoalan yang dihadapkan kepadanya dapat terselesaikan dengan baik. Pencarian dan penegakan pada penyelesaian permasalahan dengan melihat substansi dasari dari sebuah persoalan merupakan ciri yang juga melekat dalam sistem peradilan lokal, bahkan Peradilan lokal memiliki cara yang paling elastis dalam mengakomodasi setiap persoalan yang ada terutama pada etnis dimana sistem peradilan tersebut ada dan tumbuh berkembang. Hal ini bisa dilihat dari studi yang dilakukan oleh Kopong Medan (2006) yang menemukan model peradilan yang dikembangkan masyarakat Lamaholot di Flores Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah model “peradilan rekonsiliatif”, yakni model peradilan yang lebih berorientasi kepada upaya membangun kembali relasi sosial para pihak yang bertikai atau yang terlibat dalam kasus kriminal. Namun ketika persoalan tersebut mulai merambah pada sengketa yang melibatkan dua orang dari dua kelompok etnis yang berbeda, maka biasanya sistem peradilan lokal terjebak pada bias budaya dari etnis dimana sistem peradilan lokal tersebut digunakan.
D. Peradilan Altertantif: Tawaran Konsepsional
Kedua sistem peradilan—baik peradilan Negara maupun peradilan adat/lokal—memiliki tingkat legitimasi masing-masing dalam masyarakat, terutama menyangkut proses penyelesaian konflik yang terjadi, sehingga terkadang penyelesaian yang dilakukan oleh satu sistem peradilan oleh kalangan tertentu diterima adanya, tetapi pihak lain menolaknya.
Upaya pencarian model alternatif, disamping model-model yang sudah ada, sangat dimungkin sekali. Karena sebagai suatu sistem, lembaga peradilan bukanlah sistem tertutup tetapi melainkan sistem terbuka, sehingga dimungkinkannya adanya pengaruh sistem sosial terhadap pelaksanaan tugasnya, misalnya pengaruh perkembangan politik, ekonomi, sosial budaya, hankam, iptek dan sebagainya (Muladi, 2002:216). Hal senada juga dikatakan oleh Goldstein (1976) bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) tidaklah dapat dipandang sebagai “deterministic sistem” yang bekerjanya dapat ditentukan secara pasti namun harus dilihat sebagai “probabilistic sistem”, dimana hasilnya secara pasti tidak dapat diduga.
Upaya penciptaan lembaga alternatif—yang menggabungkan berbagai sistem dan kearifan yang ada dalam masyarakat—sebenarnya sudah dilakukan oleh banyak Negara. Di Amerika Serikat misalnya sejak tahun 1974 penciptaan lembaga alternatif ini mulai dilakukan (Trubek, 1981:401, Nolan Haley, 1992). Saluran-saluran alternatif tersebut antara lain melalui negosiasi, arbitrase dan lain sebagainya, yang kesemuanya didasari pada pemikiran bahwa penyelesaian sengketa melalui proses pengadilan dipandang banyak memerlukan biaya yang tinggi dan membutuhkan waktu yang relatif lama. Bahkan Nolan Haley dan Rajagukguk (2000:1-1) menilai sistem peradilan formal merupakan suatu bentuk kepanjangan tangan dari penguasa dan tidak bersih, sehingga keputusannya cenderung memihak.
Menyadari akan segala kelemahan yang dimiliki oleh sistem peradilan pidana dalam menyelesaikan berbagai kasus criminal yang terjadi di masyrakat—dan termasuk didalamnya kasus-kasus konflik dan tindakan kekerasan—maka dewasa ini mulai muncul pemikiran-pemikirana lternatif lain. Griffith (1970:359-383) dan Muladi (1995:15-16) misalnya menawarkan model ketiga (the third model) yang disebut “family model”, yang dipandang lelbih tepat untuk menggambarkan ralitas yang berkembang dalam proses peradilan, karena lebih menekankan upaya untuk mendamaikan kepentingan-kepentingan para pihak. Family model sangat banyak mengakui harkat dan martabat tersangka/ terdakwa, dan hal itu tidak dikaitkan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Pandangan Griffith seperti itu mengnisyaratkan bahwa orang yang disangka/didakwa sebagai pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana harus diperlakukan sebagai bagian dari keluarga sehingga “cap jahat” (stigma) yang cenderung diletakkan pada dirinya menjadi hilang.
Selain itu, King (Hiarej, 2002) juga mencoba menggagas dan mengembangkan “model ketiga” versi lain yang disebut medical model yang lebih menekankan aspek penyembuhan atau menormalkan kembali hubungan-hubungan sosial yang rusak antara para pihak yang bertikai. Selain medical model, King juga memperkenalkan model peradilan lain yang menggunakan pendekatan sosial yakni bureaucratic model, status passage model, dan power model. Demikian pula, Braithwaite (2005) menawarkan model “Restorative Justice” (peradilan restorasi) yang selama ini dipaktekkan oleh masyarakat jepang, yang lebih berorientasi pada upaya-upaya untuk memulihkan hubungan sosial antara para pihak yang bertikai.
Demikian juga dengan model “peradilan rekonsiliatif” yang dikembangkan oleh Kopong Medang (2006) sebagai hasil dari penelitian yang dilakukan di masyarakat Lamaholot di Flores Nusa Tenggara TImur dalam menyelesaikan kasus kriminal yang dihadapi, baik melalui forum adat, forum Negara maupun forum campuran, karena sejalan dengan tradisi adat “mela sareka” atau “tapan halo” (perdamaian adat). Karena tradisi adat “mela sareka” atau “tapan halo” tersebut sesungguhnya berakar dari nilai budaya “harmoniasi” yang juga dianut oleh kelompok masyarakat lain di Indonesia dan bahkan seluruh masyarakat di belahan timur dunia, maka menurut Kopong Medan model peradilan rekonsiliatif ini bisa dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah model semesta.
Kalimantan Barat sebagai satuan wilayah yang memperlihatkan tingkat keberagaman etnis dengan segala sistem budaya yang ada, juga memiliki sistem peradilan lokal/adat, termasuk pada masyarakat etnis sebagai cara yang dikembangkan dalama rangka menyelesaikan sengketa dan persoalan yang ada dalam masyarakat. Namun demikian pola penyelesaian yang dilakukan oleh sistem peradilan lokal, sering terjebak pada persoalan di atas yaitu prasangka, stereotif dan bias budaya.
Dengan melihat berbagai kelemahan dan kekuatan yang ada pada masing-masing sistem peradilan, penulis melihat ada tiga model sistem peradilan yang bisa dikembangkan dalam masyarakat multikultural, terutama di Kalimantan Barat dalam menyelesaikan setiap persoalan yang ada, terutama dalam menyelesaikan persoalan atau sengketa yang mengarah pada kekerasan etnis secara massif. Model-model tersebut tentunya mendasarkan pada posisi masing-masing sistem peradilan pada etnis yang rentan terhadap konflik dan kekerasan, seperti etnis Madura, Melayu dan Dayak serta posisi peradilan Negara.
I. Model I: pada model pertama ini, sestem dan pola penyelesaian dari Negara tidak dimunculkan. Model ini hanya menampilkan sistem dan model yang ada pada masing-masing etnis. Dari model dan pola ini setidaknya ada empat sistem pola penyelesaian yaitu pertama peradilan Dayak Madura, kedua peradilan malayu dayak, ketiga peradian Madura Melayu dan keempat peradilan Dayak Melayu dan Madura.
II. Model II. Pada model ke II ini ada satu prinsip bahwa sistem peradilan negara tetap menempatkan yang utama. Penempatan peradilan Negara pada tempat yang utama bisa dalam dua kemungkinan yaitu kemungkinan pertama penyelesaiannya dilakukan terlebih dahulu pada masing-masing sistem yang ada untuk kemudian dibawa ke sistem peradilan Negara. Kemungkinan kedua persoalan tersebut diselesaikan terlebih dahulu menurut pola dan sistem peradilan negara, untuk kemudian diserahkan kembali kepada sistem masing-masing etnis. Tetapi penyerahan kembali kepada sistem dan pola masing-masing etnis ini hanya dilakukan pada hal-hal yang memang oleh sistem peradilan Negara tidak bisa melihat dan menyelesaikannya, seperti melihat dan menyelesaikan rasa dendam dan lain sebagainya.
III. Sedangkan model ke III adalah model peradilan alternatif. Kemunculan model ini tentunya merupakan sintesa dari berbagai kelemahan dan kekuatan yang ada pada sistem dan pola penyelesaian yang ada pada etnis Dayak, Madura, dan Melayu serta peradilan Negara sendiri. Diharapkan dengan model III, sistem dan pola peradilan ini mampu mengakomodasi dan menjawab semua persoalan yang ada dan mampu menjadi pola penyelesaian yang ideal untuk masing-masing etnis, sehingga kekerasan etnis yang bersifat massif bisa dihindari.



E. Simpulan
Dengan analisis budaya, terlihat jelas bahwa sistem peradilan Negara kiranya mengalami keterbatasan dalam menyelesaikan sengketa etnis yang terjadi. Hal mana salah satu penyebabnya adalah mekanisme, sistem serta prosedur yang dikembangkan oleh sistem peradilan negara dirasakan oleh masyarakat lokal—yang dalam hal ini masyarakat atau etnis Melayu, dayak dan Madura—tidak mampu menangkap substansi dasar dari terjadinya perselisihan diantara mereka. Karena ketidakmampuannya menangkap substansi terdalam dari perselisihan tersebut menjadikan penyelesaian yang dilakukan oleh sistem peradilan negara sulit diterima oleh masing-masing etnis, dan masing-masing etnis yang bertikai tetap menganggap permasalahan yang ada tidak pernah terselesaikan dengan baik.
Demikian juga sebaliknya, jika sengketa dua orang dari dua etnis yang berbeda harus diselesaikan oleh salah satu sistem peradilan adat mereka, maka biasanya keputusan yang dijatuhkan oleh sistem peradilan lokal tersebut sulit untuk dilaksanakan oleh salah satu pihak dari etnis yang berbeda tersebut. Hal ini terjadi karena sistem hukum sistem peradilan lokal tersebut dinilai hanya cocok untuk etnis dimana sistem hukum dan sistem peradilan tersebut ada. Oleh karena itu, penciptaan lembaga peradilan alternatif sebagaimana tersebut diatas menjadi urgen keberadaannya dalam upaya menyelesaikan persoalan atau sengketa etnis yang ada di Kalimantan Barat. Oleh karena itu, perlu adanya kolaborasi yang mengarah pada instituionalisasi lembaga peradilan adat yang ada guna dapat menyelesaikan persoalan sehingga akan terhindari terjadinya konflik etnis yang massif sifatnya.
Model alternatif seperti tergambar di atas merupakan model yang kiranya dapat digunakan sebagai upaya memperdayakan dan melembagakan sistem peradilan lokal di tengah-ditengah sistem peradilan negara.













DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal (Penyunting), Analisis Eksistensial: Untuk Psikologi Dan Psikiatri, Penerbit Refika Aditama Bandung 2002.
Adian, Donny Gahral, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume sampai Thomas Khun, Penerbit Teraju, Jakarta. 2002.
----------------------------. Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer, Penerbit Jalasutra Yogyakarta. 2002.
Bakker, Anton. Metode-Metode Filsafat, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. 1986.
Barker, Chris, Cultural Studies: Teori dan Praktek, Penerbit Kreasi Wacana Yogyakarta. 2004,
Berten, K. Ringkasan Sejarah Filsafat, Penerbit Kanisius Yogyakarta. 2002.
Bleicher, Josef (alih bahasa oleh Masmuni Mahatma), Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat dan Kritik, Penerbit Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta. 2003.
Budi, Hardiman F. Kritik Ideologi: Pertauatan Pengetahuan dan Kepentingan, Penerbit Kanisius Yogyakarta. 1990.
Budiardjo, Meriam (Editor). Masalah Kenegaraan, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta. 1972.
-------------------------, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Jakarta. 1977,
Bungin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. 2003.
Dahl, Jens. Masyarakat Adat Di Dunia Eksistensi dan Perjuangannya, Penerbit IWGIA Dan Institute Dayakologi, Pontianak-Indonesia. 2001.
Djuweng, S. “Pembangunan dan Penindasan Pelajaran Dari Masyarakat Dayak,” Paper Yang Dipresentasikan Dalam Lokalarya United Nation Economics And Sosial Council (UNISCO) Di Jakarta,. 1999
Drijarkara, S.K. Filsafat Manusia, Penerbit Kanisius, Cet-13, Yogyakarta. 1994.
--------------------, Driyarkara Tentang Manusia, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1978.
--------------------, Driyarkara Tentang Negara Dan Bangsa, Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1978.
--------------------. Percikan Filsafat, Penerbit PT, Pembangunan, Jakarta, 1964.
Faisal, Sanafiah, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi, Penerbit Y A 3 Malang,. 1990,
Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi, Insist Press, Yogyakarta, 2002.
Galtung, Johan, The True World: A Transnational Perspectives, The Free Press, New York. 1980.
Geertz, Clifford, (Aswab Mahasin-Penerjemah), Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, 1983.
Giddens, A. Capitalism And Modern Social Theory, Cambridge University Press, London, 1971.
Halliday, M.A.K. & Hasan, Ruqaiya. 1984. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotic Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Harun, M. Yahya, Perang Salib dan Pengaruh Islam Di Eropah, Penerbit Bina Usaha Yogyakarta. 1987.
Ihromi T.O. (Penyunting), Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, Penerbit Yayasan Obor, Jakarta. 2001.
John Bamba,”Mengayau Atau Perang? Fenomenologi Kekerasan Antar Etnis di Kalimantan Barat”, Makalah untuk Seminar Dalam Rangka Kampanye Melawan Diskriminasi Ras, Etnis, Agama, Jender, Xenophobia dan Bentuk-Bentuk Intoleransi Lainnya "Hindari Kekerasan. Hentikan Diskriminasi. Kita Semua Manusia" Di Pontianak 18 September 2001 Kerjasama Komnas HAM-Insitut Dayakologi 2001.
Kleden, Ignas. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta. 1987.
Koentjaraningrat (Ed), Masalah-Masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi Terapan, Penerbit LP3ES, Jakarta, 1982.
----------------------, Beberapa Metode Antropologi Dalam Penyelidika-Penyelidikan Masyarakat Dan Kebudayaan Di Indonesia, Penerbit Universitas Jakarta, 1958.
-----------------------, Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, Penerbit
Krisnugroho, & Thomas Santoso, “Episode Tahun Kekerasaan 1996-1999”, Dalam Paul Tahalele Dkk (Editor), Indonesia Di Persimpangan Kekuasaan: Dominasi Kekerasaan atas Dialog Publik, Penerbit The Go-East Institute Dengan Forum Komunikasi Kristiani Indonesia (Fkki), Jakarta. 2000,
Liliweri, Alo, W.S. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta, Penerbit Pustaka Pelajar. 2001,
-------------------------. Prasangka Dan Konflik, Komunikasi Lintas Masyarakat Multicultural, penerbit Lkis, Yogyakarta. 2005.
Mas’oed, Mohtar et.al (Editor), Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu, Penerbit P3PK UGM Cet Kedua. 2001.
Morris, Brian (Imam Khoiri -Penterjemah). Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, Penerbit AK Group Yogyakarta. 2003.
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik Dan Sisitem Peradilan Pidana, Penerbit Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, Cet-II, 2002.
----------------, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, Cet-I, 1995.
----------------, Tripartite Missons Program Doctor (S3) Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Disampaikan Pada Acara Kuliah Umum Mahasiswa Program Doctor (S3) Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 29 Januari 2004.
----------------, Wajah Hukum Indonesia Menapak Tahun 2002, Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Sehari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), Tanggal 26 Januari 2002.
Nugroho,Heru, Menumbuhkan Ide-Ide Kritis, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan: Dalam Teori dan Praktik, Penerbit CV. Remaja Karya, Bandung. 1988.
-------------------, Interpretasi, Remadja Karya, Bandung. 1987.
Pospisil, L. Kapauku Papuans And Their Law, New Haven, Yale University Press. 1958.
Packer, Herber L. The Limit Of The Criminal Sanction, California, Standford University Press, 1986.
Roeslan, Saleh, Benarkah Peradilan Pidana Mencerminkan Ketidaksamaan Dalam Penerapan Hukum? Bahan Kuliah Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum, Semarang, Undip. 1996.
Rahardjo, Satjipto, Sistem Peradilan Pidana Dalam Wacana Kontrol Sosial, Artikel Dalam Jurnal Hukum Pidana Dan Kriinologi, Vol 1/No. 1 1998.
------------------------, Beberapa Catatan Mengenai Pengembangan Konsep Dan Kerangka Teoritis Hukum, Dalam Majalah Masalah-Masalah Hukum FH. Undip No. 6 Tahun 1983.
------------------------, Budaya Hukum Dan Penyelesaian Sengketa Perdata Di Luar Pengadilan, Jurnal Magister Hukum, Vol. 2. No.4. 2000.
------------------------, Dalam Karolus Kopong Medan & Frans Rengka (Ed), Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003.
------------------------, Hukum Dalam Jagad Ketertiban, Penerbit UKI Press Jakarta 2006,
Soekanto, Soerjono, Sosiologi suatu Pengantar, UI Press Jakarta. 1970.
---------------------------, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press Jakarta, 1984.
Suparlan, Parsudi. “Membangun Kembali Indonesia Yang Bhenika Tunggal Ika Menuju Masyarakat Multikultural”, Keynot Address, Pada Sesi Pleno I Pada Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia Ke-3 Di Universitas Udayana, Bali, Tanggal 16-19 Juli 2002.
Suseno, Frans Magnis, Berfilsafat dari Konteks, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1991.
--------------------------------. Filsafat-Kebudayaan-Politik: Butir-Butir Pemikiran Kritis. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta 1992.
--------------------------------, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1992.
--------------------------------, Kuasa dan Moral, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2001.
--------------------------------. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Penerbit Kanisus, Yogyakarta 1987.
Trubek, David M. Toward A Sosial Theory Of Law, The Yale Law Journal, Vol. 82, I November, 1972.
Tanya, Bernar L, Beban Budaya Lokal Menghadapi Hukum Negara, Analisis Budaya Atas Kesulitan Sosio-Kultural Orang Sabu Menghadapi Regulasi Negara, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Semarang, PDIH UNDIP, 2000.
Yaqin, M. Ainul, M.Ed. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan, Penerbit Pilar Media Jogyakarta 2005.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2003.
Wignjosoebroto, Soetandyo. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1994.
Wiranat, I Gede, A.B. Hukum Adat Indonesia, Perkembangan Dari Masa Ke Masa, Bandung PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
Wignyana, I Made, Peranan Lembaga Tradisional (Desa Adat) Dalam Penyelesaian Konflik, Suatu Kajian Kriminologi. Jurnal Hukum Pidana Dan Kriminologi, 1998.




* Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, menyelesaikan studi S3 pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar