Jumat, 30 Juli 2010

KEJAHATAN BIDANG KEHUTANAN: (JENIS DAN KEBIJAKAN KRIMINAL)

*Oleh: Dr. Hermansyah, SH.Mhum.**
Secara sederhana kiranya dapat dikatakan semua kejahatan yang berhubungan secara langsung dengan hutan adalah kejahatan bidang kehutanan yang cukup banyak jenis dan ragamnya. Hanya memang dalam kenyataannya masyarakat hanya mengenal ”illegal logging” Psebagai satu-satunya bentuk kejahatan dalam bidang kehutanan. Hal ini bisa saja dipahami, jika yang dimaksud dengan”Illegal Logging” tersebut adalah semua bentuk kejahatan yang ada dalam bidang kehutanan. Namun jika hal tersebut dipahami dalam arti yang sempit, yaitu hanya terbatas penebangan liar saja, maka hal ini keliru. Karena sesungguhnya kejahatan dalam bidang kehutanan tidak hanya bentuknya ”illegal logging” semata-mata, tetapi terdiri dari berbagai bentuk kejahatan seperti: penebangan yang dilakukan tidak berdasarkan Rencana Kegiatan Tahunan (RKT), Penebangan terhadap jenis pohon yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan, penebangan di luar target, penebangan tidak membayar IHH, serta re-logging.[1]
Bahkan menurut Rahmi Hidayat, kejahatan dalam bidang kehutanan terdiri dari: 1.pembalakan (logging) spesies yang dilindungi, 2.pemalsuan dokumen pemanenan kayu, 3.melakukan kontrak dengan oknum pengusaha local untuk mebeli kayu dari kawasan yang dilindungi, 4. pembalakan kayu dalam kawasan lindung, 5. pembalakan kayu diluar batas konsensi, 6. pembalakan kayu di dalam areal yang dilarang untuk ditebang, 7. pemungutan kayu melebihi ijin yang diperkenankan, 8. pembalakan kayu tanpa ijin, 9. mendapatkan konsensi melalui proses yang illegal, 10. pengangkutan kayu tanpa ijin, 11. penyelundupan kayu, 12. ekspor dan impor spesies pohon yang dilarang oleh perjanjian internasional seperti CITES, 13. menyatakan nilai dan volume ekspor kayu lebih rendah daripada yang sebenarnya, 14. mengabaikan hukum lingkungan, social dan tenaga kerja dalam apengelolaan hutan, 15. penggunaan kayu yang diperoleh secara illegal dalam proses industri[2].
Kejahatan Bidang Kehutanan: Perspektif Anatomi
Jika dicermati secara seksama, maka akan terlihat jelas perbedaan antara kejahatan pada umumnya (man in the street crime) dengan kejahatan yang terjadi dalam bidang kehutanan, terutama dalam hal ini illegal logging. Perbedaan tersebut tidak hanya pada aras motiv yang melatarbelakanginya, tetapi juga para pihak yang terlibat dalam kejahatan serta cara atau modus operandi dilakukannya illegal logging tersebut. Setidaknya ada lima wajah atau anatomi illegal logging sebagai sebuah kejahatan, yaitu pertama kejahatan ekonomi (economic crime), kedua kejahatan korporasi (corporate crime), tiga kejahatan yang terorganisir (organized crime), keempat kejahatan tersebut dilakukan oleh mereka-mereka yang memiliki kedudukan dan peran yang dinilai oleh masyarakat sebagai orang yang terhormat (white color crime) serta kelima kejahatan illegal logging memperlihatkan nuansa kejahatan internasional (international crime). Kelima wajah tersebut dalam kenyataannya menyatu yang merupakan cirri khas dari dari kejahatan dalam bidang kehutanan. Gambaran menyatunya wajah kelima wajah kejahatan dalam bidang kehutanan seperti di bawah ini:
Anatomi kejahatan seperti tersebut di ataslah yang kiranya menyebabkan illegal logging relative sulit untuk diberantas, karena tidak hanya persoalan bagaimana hokum tersebut harus ditegakkan, tetapi menyangkut banyak masalah seperti keterlibatan para aparat penegak hokum, pelakunya tidak hanya orang perseorang tetapi melibatkan korporasi dan para pejabat yang dinilai memiliki kedudukan yang terhormat dalam masyarakat sebagai pelakunya, system yang rapi dan terencana dengan baik sehingga siapa sesungguhnya yang menjadi “actor intellectual” sulit untuk diketahui, bahkan keterlibatan warga negara atau negara asing dalam aktivitas illegal logging hampir merupakan keniscayaan, mengingat kondisi geografis Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan negara tetangga (Melaysia). Kondisi tersebut manjadikan aktivitas illegal logging sulit dilakukan pemberantasan.
1. Economic Crime
Dalam perspektif normative-positivistik,[3] suatu kejahatan baru dikatakan sebagai kejahatan ekonomi, jika perbuatan tersebut oleh undang-undang sendiri dikatagorikan sebagai kejahatan ekonomi. Sepanjang suatu perbuatan tidak diklasifikasi atau dikualifikasi sebagai kejahatan ekonomi, maka perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai kejahatan ekonomi.
Pendekatan normative-positivistik ini pada satu sisi memang penting, karena dengan diklasifikasi atau dikatagorikannya suatu perbuatan sebagai kejahatan atau tindak pidana ekonomi, maka beberapa bangunan hokum yang merupakan pengecualian dalam hokum pidana bias diterapkan. Cara pandang seperti ini oleh banyak kalangan dirasakan tidak memadai ketika melihat berbagai kejahatan dari perspektif motiv dilakukannya suatu kejahatan.[4]
Jika dilihat dari motiv, nuansa ekonomi yang melatarbelakangi dilakukannya illegal logging terlihat jelas, karena illegal logging dilakukan dalam kerangka kegiatan ekonomi yang pada dasarnya bersifat normal dan sah. Bahkan perbuatan tersebut dinilai telah melanggar atau merugikan Negara dari sisi pendapatan yang seharusnya bias diperoleh melalui pajak atau retribusi yang seharusnya diperoleh dari suatu aktivitas.
Pada hal kejahatan ekonomi adalah salah satu jenis kejahatan yang dipandang sangat berbahaya, bahkan masyarakat internasional juga telah mengakui kejahatan ekonomi adalah salah satu kejahatan yang perlu diwaspadai, hal ini terlihat dalam Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New International Economic Order, yang tertuang pada saat The Sevent United Nations Congress ont the Prevention of Crime and The Treatment of Offender di Milan Italy pada tahun 1965. Bahkan Prof. Khaleeq Naqvi, seorang Guru Besar Politik Ekonomi Universitas New Delhi, pada Kongres PBB ke-5 di Geneva pada tahun 1975 telah mensinyalir adanya peningkatan yang sangat berarti terhadap kejahatan ekonomi ini, dengan mengatakan bahwa: Offences against the economy had increased significantly in the recent past and had become the most important component of the national crime situation, particularly in the developing countries. [5]
Berbahayanya kejahatan ekonomi ini dikarenakan jika dilihat dari karakteristiknya sangat berbeda dengan kejahatan pada umumnya, perbedaan tersebut misalnya adanya penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan (disquise of pupose or intent), adanya keyakinan sipelaku terhadap kebodohon dan kesemberonoan si korban (reliance upon the ignorance or carelessness of the victim), kemudian adanya penyembunyian pelanggaran (concealement of the violation).[6]
2. White Collor Crime ( WCC)
Seperti apa yang telah diuraikan di atas, bahwa illegal logging sebagai sebuah kejahatan memperlihatkan anatomi yang berbeda dengan kejahatan pada umumnya, di mana salah satunya adalah kejahatan tersebut bernuansakan White color crime (WCC). Seperti diketahui bahwa untuk pertama kalinya istilah ini dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland pada tahun 1939 dihadapan American Sosiological Society. Sutherland membuktikan bahwa White Collor Crime (WCC) merupakan suatu kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat dan memiliki status sosial yang tinggi dalam pekerjaannya. Sejak saat itulah banyak para sarjana yang memberikan perhatiannya kepada jenis kejahatan ini dan salah satunya adalah Clinar dan Yeager.
Menurut Clinard dan Yeager White Collor Crime terdiri dari dua jenis yaitu : Occupational Crime dan Corporate Crime. Ocuupational Crime ( Kejahatan yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan), sebagian besar dilakukan oleh individu atau kelompok-kelompok kecil individu dan berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan. Adapun yang termasuk kejahatan Ocuupational adalah pelanggaran-pelanggaran hukum dilakukan oleh pengusaha, politisi pimpinan serikat buruh, pengacara, dokter, apoteker, akuntansi. Sedangkan kejahatan korporasi (corporate crime) dilakukan secara kolektif atau kumpulan individu dari berbagai bidang. Untuk dapat dikatakan sebagai kejahatan koporasi jika pejabat korporasi melakukan perbuatan pelanggaran hukum untuk kepentingan korporasi. Hal ini yang membedakannya dengan kejahatan occupational dimana pelaku melakukan kejahatan untk keuntungan pribadinya.[7]
Berbicara tentang pelaku White Collor Crime, maka dapat dikatakan bahwa mereka merupakan penjahat-penjahat yang tidak mudah ditundukkan. Penjahat-penjahat tangguh itu terdiri dari dua kelas yaitu; pertama, yang tak tersentuh ( untouchable) yaitu para pelaku kejahatan yang dalam kenyataannya benar-benar berada di atas hukum ( above the law) seperti para penguasa-penguasa korup yang masih berkuasa kedua yang tak terjangkau ( unreachhable) termasuk dalam kategori ini adalah para pelaku kejahatan yang berkekuasaan ( formal atau informal ) yang cukup tinggi dan sangat sulit dijangkau hukum.
Menurut Laura Snider karakter dari White Collor Crime dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pelanggaran hukum yang dilakukan merupakan bagian yang terkait erat dengan jabatan resmi yang merupakan instrumen pokok yang memungkinkan kejahatan dapat terlaksana.
2. Melibatkan pelanggaran terhadap kepercayaan yang diberikan dan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan tersebut merupakan viola of public trust yaitu pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Dalam kaitannya dengan kasus illegal logging diketiga kabupaten ini, tampak bahwa pelanggaran terhadap kepercayaan yang diberikan masyarakat dilakukan oleh oknum pejabat pada instansi tertentu yang ikut terlibat dalam kasus illegal logging dimaksud.
3. Tidak ada paksaan fisik secara langsung, kendati kerugian negara sangat besar.
4. Tujuannya adalah uang, prestise dan kekuasaan.
5. Terdapat pihak-pihak yang diuntungkan dari kejahatan tersebut.
6. Adanya upaya untuk menyamarkan kejahatan yang dilakukan dan adanya upaya untuk mencegah diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku.[8]
Praktek illegal logging yang dilakukan secara bersama-sama oleh para pejabat dari instansi tertentu, pemilik modal dan anggota masyarakat telah memenuhi karakteristik tersebut di atas, sehingga sangat sulit untuk diungkap, jika terungkap yang tertangkap hanya warga masyarakat yang melakukan penebangan, sedangkan oknum pejabat dan pemilik modal yang memback-up kegiatan tidak pernah terungkap selain itu terhadap praktik illegal logging yang merupakan White Collor Crime ini penindakkannya juga masih bersifat tebang pilih, adanya indikasi telah terjadinya kolusi antara pelaku dengan aparat penegak hukum sangat kuat sehingga penegakan hukum terhadap praktik illegal logging tidak terlaksana secara maksimal.
Dalam mengungkap dan memproses praktik illegal logging perlu keahlian yang diiringi dengan keberanian dan komitmen moral dari aparat penegak hukum. Hal tersebut diperlukan karena yang dihadapi nantinya bukan hanya warga masyarakat yang menebang hutan saja, tetapi juga tokoh-tokoh yang sulit terjangkau oleh hukum. Kuatnya pengaruh dari tokoh-tokoh yang tak terjangkau oleh hukum inilah yang akhirnya mengakibatkan timbulnya putusan bebas bagi beberapa pelaku illegal logging di Kalimantan Barat. Oleh sebab itu dalam menangani praktik illegal logging perlu koordinasi yang solid dari berbagai instansi.
3. Organized Crime
Keberadaan kejahatan terorganisir (organized crime) dalam masyarakat dewasa ini sudah menjadi kenyataan, diorganisasinya kejahatan terjadi ketika kejahatan sebagai obyeknya tidak lagi dipandang sebagai bentuk prilaku menyimpang (deviance), tetapi merupakan suatu tujuan dalam pencapaian hidup manusia seperti tujuan ekonomi.
Yang menarik dari kejahatan terorganisir ini adalah ciri dan bentuknya yang berbeda jika dibandingkan dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang perseorang. Salah satu ciri dari kejahatan terorganisir (organized crime) ini adalah adanya struktur hirarki yang menunjukkan semacam rantai komando dalam melakanakan tujuan dan adanya perencanaan yang ekstensif di segala bidang, semisal rencana operasi, manajemen personalia. Upaya pencipataan hubungan dengan berbagai tokoh, mulai dari tokoh politik, para aparat penegak hokum sampai pada hubungan dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Karena sifat hubungannya hirarkis, maka biasanya eselon atau orang yang menduduki posisi yang tinggi, dalam hal ini para cukong, biasanya mempunyai kekebalan hokum. Kekebalan hokum ini diperolehnya karena penyuapan yang dilakukannya terhadap para aparat penegak hokum yang merupakan bagian dari kejahatan itu sendiri serta adanya tekanan politis dari para tokoh politik/pemerintahan guna melindungi cukong sebagai orang yang dianggap menduduki posisi tertinggi tersebut.
Tidaknya hanya itu, dalam melakukan aktivitasnya, hubungan antara satu orang dengan orang yang lain biasanya dijalin dalam hubungan yang rahasia (secrecy), bahkan dalam hal tertentu bisa saja hubungan antara satu dengan yang lainnya tidak saling menenal (missing link) dan ini memang diciptakan guna kelangsungan dari aktivitas tersebut.
4. Transnational (Organized) Crime
Jika dicermati kejahatan dewasa ini terlihat adanya perkembangan yang luar biasa, mulai dari motiv, cara atau modusnya serta locusnya. Kejahatan dewasa ini tidak hanya dilakukan sebatas wilayah territorial suatu Negara, melainkan sudah melampaui batas satu atau banyak Negara (transcend beyond territorial borders), cara seperti ini biasanya lebih dikenal dengan istilah “transborders crimes” atau “transnational crimes”.
Illegal logging adalah salah satu kejahatan yang memperlihatkan nuansa kejahatan transnasional disamping kejahatan lainnya seperti penyelundupan (smuggling), perdagangan wanita/manusia (women trafficking) dan kejahatan lainnya. Dikatakan sebagai kejahatan transnasional karena aktivitas illegal logging sering melibatkan lebih dari satu negara, baik dalam pengertian persiapan, perencanaan, pengawasan maupun dampak yang ditimbulkannya.[9]
Keterlibatan negara Malaysia dalam aktivitas illegal logging yang ada di Indonesia, terutama dalam hal di Kalimantan Barat, jelas terlihat. Modus yang digunakan oleh negara/pejabat Malaysia sebagai bentuk keterlibatannya dalam proses illegal logging ini adalah dengan melakukan proses pencucian kayu illegal yang berasal dari Kalimantan. Semua kayu yang berasal dari Kalimantan, baik yang memimiliki Surat Keterangan Sah Hasil Hutan (SKSHH) maupun yang tidak (kayu yang diperoleh secara illegal), oleh pemerintah/pejabat yang ada di Malaysia dibuatkan dokumen resmi dari Malaysia yang isi dokumen tersebut menyatakan bahwa semua kayu yang ada di Malaysia tersebut berasal dari hutan Malaysia, untuk kemudian berdasarkan surat atau dokumen resmi tersebut semua atau sebagian kayu tersebut dieksport kembali ke negara lain seperti Jepang, Amerika dan beberapa negara Eropah lainnya.
Sikap Malaysia yang secara terang-terang mengeluarkan dokumen resmi yang menyatakan bahwa semua kayu yang ada di Malaysia berasal dari hutan mereka, dalam perspektif kriminologis, jelas menjadi penyebab atau mendorong terjadi dan illegal logging di Kalimantan Barat, karena secara tidak langsung kebijakan tersebut seakan membuka pasar gelap bagi kayu-kayu tersebut. Apalagi mengingat batas antara Kalimantan Barat dengan Negara Malaysia tidak terlalu jauh. Secara diagram keterlibatan warga negara/Negara Malaysia dalam aktivitas illegal logging di Kalimantan Barat adalah sebagai berikut:
Anatomi kejahatan seperti tersebut di ataslah yang kiranya menyebabkan illegal logging relative sulit untuk diberantas, karena tidak hanya persoalan bagaimana hukum tersebut harus ditegakkan, tetapi menyangkut banyak masalah seperti keterlibatan para aparat penegak hukum, pelakunya tidak hanya orang perseorang tetapi melibatkan korporasi dan para pejabat yang dinilai memiliki kedudukan yang terhormat dalam masyarakat sebagai pelakunya, system yang rapi dan terencana dengan baik sehingga siapa sesungguhnya yang menjadi “actor intellectual” sulit untuk diketahui, bahkan keterlibatan warga negara atau negara asing dalam aktivitas illegal logging hampir merupakan keniscayaan. Apalagi mengingat kondisi geografis Indonesia, khususnya Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan negara tetangga (Melaysia). Hal-hal seperti inilah yang kiranya menjadi penyebab sehingga aktivitas illegal logging sulit diberantas oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, meskipun sudah dibantu oleh lembaga lain seperti Polisi Khusus (Polsus) bidang kehutanan yang ada di Departemen Kehutanan.
Pemberantasan Kejahatan Bidang Kehutanan:Politik dan Strategi
Menyadari akan rumit dan kompleksnya illegal logging sebagai sebuah kejahatan, maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredaranya di seluruh Indonesia. Keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 ini tentunya didasari pada kenyataan bahwa penegakan hukum bidang kehutanan tidaklah dapat dilakukan secara konvensional yang hanya tertumpu pada Kepolisian sebagai aparat penegak hukum. Karena dalam melaksanakan fungsinya sebagai penegak hukum, aparat kepolisian menemui berbagai kendala yang sangat berarti, misalnya kurangnya aparat di lapangan, terlibatnya para anggota TNI dalam aktivitas tersebut dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, Presiden pada 18 Maret 2005 telah menginstruksikan kepada 18 instansi untuk mempercepat pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya dengan melakukan penindakan kepada orang atau badan yang terlibat. Adapun ke 18 instansi yang terlibat secara langsung dalam proses penegakan hukum bidang kehutanan adalah sebagai berikut: (1) Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; (2) Menteri Kehutanan; (3) Menteri Keuangan; (4) Menteri Dalam Negeri; (5) Menteri Perhubungan; (6) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; (7) Menteri Luar Negeri; (8) Menteri Pertahanan; (9) Menteri Perindustrian; (10) Menteri Perdagangan; (11) Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; (12) Menteri Negara Lingkungan Hidup; (13) Jaksa Agung; (14) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; (15) Panglima Tentara Nasional Negara; (16) Kepala Badan Intelijen Negara; (17) Para Gubernur; (18) Para Bupati/Walikota;
Adapun tujuan dari dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 ini diantaranya adalah :
1. Melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan:
a. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
b. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
c. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu.
d. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
e. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
2. Menindak tegas dan memberikan sanksi terhadap oknum petugas dilingkup instansinya yang terlibat dengan kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
3. Melakukan kerjasama dan saling berkoordinasi untuk melaksanakan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
4. Memanfaatkan informasi dari masyarakat yang berkaitan dengan adanya kegiatan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya.
5. Melakukan penanganan sesegera mungkin terhadap barang bukti hasil operasi pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia dan atau alat-alat bukti lain yang digunakan dalam kejahatan dan atau alat angkutnya untuk penyelamatan nilai ekonomisnya.
a. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan:
Dilibatkannya kementerian koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan dalam pemberantasan illegal logging adalah dalam rangka:
a. Mengkoordinasikan seluruh instansi terkait sebagaimana dalam Instruksi Presiden ini dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
b. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melaksanakan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia atas pelaksanaan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya secara periodik setiap 3 (tiga) bulan, kecuali pada kasus-kasus yang mendesak.
Fungsi koordinasi ini diperlukan karena Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredaranya di seluruh Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan sistem yang digunakan oleh pemerintah dalam penegakan hukum bidang kehutanan. Dikatakan demikian karena di dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 melibatkan berbagai sistem lainnya yang di integrasikan secara terpadu agar upaya pemberantasan kehutanan dapat memperlihatkan hasil yang diharapkan. Dan agar pendekatan sebuah sistem dapat berjalan maka dibutuhkan adanya koordinasi antara instansi yang terlibat dalam penegakan hukum tersebut. Karena koordinasi menurut Mc. Farland,[10] adalah suatu proses di mana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama. Sehingga dengan adanya koordinasi diharapkan dapat dilakukannya pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien.
b. Menteri Kehutanan:
Secara sektoral, kewajiban dan tanggungjawab penegakan hukum bidang kehutanan ada pada Departemen Kehutanan, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh organ yang ada pada departemen kehutanan tersebut seperti Polisi Khusus bidang kehutanan. Namun demikian, Departemen Kehutanan bukanlah satu-satunya lembaga penegakan hukum bidang kehutanan, karena dengan menggunakan pendekatan sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) ada lembaga lain yang terintegrasi dan menjadi satu kesatuan dalam proses penegakan hukum bidang kehutanan, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman, dengan ruang lingkup kerjanya masing-masing.
Oleh karena itu, melalui Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredaranya di seluruh Indonesia, kedudukan dan peran dari Departemen Kehutanan, terutama sebagai bagaian dari penegak hukum bidang kehutanan, dipertegas agar dapat:
a. Meningkatkan penegakan hukum bekerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan serta aparat terkait terhadap pelaku berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melalui kegiatan operasi intelijen, preventif, represif, dan yustisi.
b. Menetapkan dan memberikan insentif bagi pihak-pihak yang berjasa dalam kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya.
c. Mengusulkan kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan pencegahan dan penangkalan terhadap oknum yang diduga terlibat kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
c. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia:
Menurut Undang-Undang Nomor Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Kepolisian, dikatakan bahwa Kepolisian Republik Indonesia adalah salah satu lembaga yudisial yang memiliki tugas yaitu pertama memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; kedua menegakkan hukum; dan fungsi ketiga adalah memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.[11] Khusus dalam fungsinya sebagai penegak hukum, dikatakan dalam undang-undang bahwa kepolisian adalah penyidik tunggal, yang dalam pelaksanaannya juga dibantu oleh penyidik lain yaitu penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang memiliki fungsi penyidikan juga.
Mengingat begitu pentingnya Kepolisian Negara dalam penegakan hukum, maka hampir setiap daerah, mulai tingkat ibukota negara, propinsi, kabupaten, kecamatan dan bahkan desa terdapat lembaga kepolisian yang memiliki tugas, kewajiban dan kewenangan yang sama satu dengan yang lainnya, meskipun dari sisi namanya berbeda. Di Tingkat Nasional misalnya lembaga Kepolisian yang berkedudukan di Ibokota Negara disebut dengan Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (MABES POLRI), di tingkat Propinsi dikenal dengan istilah Kepolisian Daerah (POLDA), di tingkat Kotamadia dikenal adanya Kepolisian Kota Besar (POLTABES) atau (POLRES) yang ruang kerjanya membawahi beberapa Polisi Sektor Kota (POLSEK) yang terdapat ruang kerja hukumnya di wilayah masing-masing kecamatan. Sedangkan pada tingkat desa terdapat Pos Polisi (POSPOL) yang merupakan bagian Kepolisian Negara RI yang berada di tingkat paling bawah yaitu desa. Dan ini juga yang membedakan lembaga Kepolisian dengan lembaga lainnya yang memiliki fungsi penegakan hukum.
Dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredaranya di seluruh Indonesia, fungas lembaga Kepolisian Negara Indonesia dipertegas kembali agar:
a. Menindak tegas dan melakukan penyidikan terhadap para pelaku kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
b. Melindungi dan mendampingi aparat kehutanan yang melaksanakan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
c. Menempatkan petugas Kepolisian Republik Indonesia di lokasi rawan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya sesuai kebutuhan.
Dikatakan penegasan kembali, karena sesungguhnya tanpa adanya Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 tersebut, sudah memang menjadi tugas utama dari kepolisian sebagai penegak hukum untuk melakukan penindakan yang tegas terhadap berbagai bentuk kejahatan termasuk kejahatan dalam bidang kehutanan tentunya.
d. Jaksa Agung :
Seperti dikatahui bahwa dalam system peradilan pidana, jaksa adalah salah satu subsistem yang ada dalam system peradilan pidana (criminal justice system), disamping tentunya polisi, pengadilan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan sendiri yang tugas utamanya adalah melaksanakan fungsi penuntutan yaitu tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Disamping sebagai lembaga penuntutan, jaksa juga diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melaksanakan putusan pengadilan.[12]
Sebagai bagian dari lembaga negara maka keberadaan Kejaksaan diatur dalam Undang-Undang, dan dalam perjalanannya sudah ada tiga undang-undang yang mengatur masalah kejaksaan. Sejak merdeka misalnya, keberadaan kejaksaan ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961. Kemudian karena perkembangan jaman, undang-undang ini dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Pertimbangan yang sama juga terjadi ketika bangsa Indonesia memasuki era baru yaitu masa reformasi di segala bidang, dimana substansi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Dari ketiga undang-undang tersebut sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai kedudukan dan kewenangan lembaga kejaksaan.
Tugas dan wewenang kejaksaan cukup besar, karena tidak hanya dalam bidang pidana saja, tetapi juga dalam bidang perdata dan tata usaha negara, bahkan kejaksaan juga memiliki tugas dan wewenangan dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum. Hal ini bisa dilihat dari Bab III Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, terutama dalam Pasal 30 ayat 1, 2 dan 3 yang mengatakan bahwa:
(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. pengawasan peredaran barang cetakan;
d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Mendasarkan kepada begitu massiv dan berbahayanya kejahatan dalam bidang kehutanan maka presiden melalui instruksi presiden nomor 4 tahun 2005 meminta kepada Jaksa Agung untuk:
a. Melakukan tuntutan yang tegas dan berat terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan berdasarkan semua peraturan perundangan yang berlaku dan terkait dengan tindak pidana di bidang kehutanan.
b. Mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana yang berhubungan dengan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya pada setiap tahap penanganan baik pada tahap penyidikan, tahap penuntutan maupun tahap eksekusi. Hal ini berarti kejaksaan harus memprioritaskan penanganannya terhadap kejahatan kehutanan dibandingkan dengan kejahatan bidang lainnya.
e. Panglima Tentara Nasional Indonesia :
Kejahatan dalam bidang kehutanan memang memperlihatkan kompleksitas yang tinggi, hal ini dikarenakan dari anatomi kejahatan dalam bidang kehutanan memang berbeda dengan kejahatan pada umumnya. Sifatnyanya yang terorganisir (organized crime), melibatkan banyak orang yang memiliki kedudukan yang dinilai terhormat dalam masyarakat (white color crime), bernuansakan ekonomi yang tinggi (economic crime) menjadikan pelaku kejahatan kehutanan selalu berusaha untuk dapat mengakses para aparat penegak hukum sebagai bagian dari aktivitas mereka, dengan tujuan agar aktivitas yang dilakukannya tidak mudah terjangkau oleh hukum.
Meskipun TNI tidak memiliki kewenangan dalam penegakan hukum pada umumnya, namun khusus dalam hal kejahatan bidang kehutanan seperti illegal logging, keterlibatan TNI sebagai bagian dari upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan kehutanan diperlukan. Dan jauh sebelum adanya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 2005 tersebut koordinasi antara Departemen Kehutanan dengan Mabes TNI dalam pemberantasan kejahatan kehutanan, terutama dalam hal ini TNI Angkatan Laut telah melakukan kerjasama dengan Ditjen PHKA melalui operasi “Wanabahari” yang telah melakukan berbagai tindakan hukum, seperti penangkapan, terhadap kapal-kapal yang berada diperairan Indonesia yang diduga membawa kayu-kayu illegal. Operasi tersebut dilakukan sebagai bagian dari upaya TNI Angkatan Laut dalam menjaga kedaulatan Negara Republik Indonesia pada wilayah perairan.
Bahkan dengan mengingat aktivitas kejahatan kehutanan seperti “Illegal Logging” dari hari ke hari memperlihatkan peningkatan yang luar biasa massifnya, maka pemerintah, yang dalam hal ini Departemen Kehutanan, merasa perlu berkoordinasi dengan Mabes TNI untuk secara bersama-sama melakukan berbagai upaya pencegahan dan atau pemberantasan terhadap kejahatan illegal logging. Kerjasama antara Departemen Kehutanan dengan Mabes TNI ini secara publik diumumkan melalui siaran pers tanggal 15 Januari 2003 Nomor 51/II/PIK-1/2003. Salah satu alasan dilakukannya kerjasama antara Departemen Kehutanan dengan Mabes TNI adalah untuk menyelamatkan hutan tropis Indonesia yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Kerusakan hutan tropis Indonesia bukan hanya berdimensi kerusakan sumberdaya ekologis dan ekonomis saja, tetapi sudah masuk ke dalam dimensi kerusakan moralitas, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia. Pada saat ini penebangan liar bukan hanya terjadi pada hutan produksi saja, tetapi sudah masuk ke dalam kawasan konservasi, baik taman nasional, hutan lindung, maupun kawasan konservasi lainnya, bahkan di beberapa lokasi sudah berada pada zona inti taman nasional.
Secara normativ diikutsertakannya TNI dalam proses penegakan hukum bidang kehutanan dimungkinkan karena sejak reformasi fungsi TNI sudah dikembalikan kepada fungsi yang sebenarnya yaitu fungsi pertahanan negara, dan menurut TAP Nomor VI dan TAP Nomor VII/ MPR/ 2000 dilibatkannya TNI dalam urusan domestik, terutama untuk civic mission. Demikian juga halnya dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana dalam Bab VII pasal 41 ayat 1 dikatakan bahwa: Dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan inilah yang kiranya membuka peluang disertakannya TNI oleh Departemen Kehutanan—dan juga oleh POLRI—dalam rangka pencegahan dan pemberantasan kejahatan kehutanan.
Menyadari bahwa illegal logging sudah sedemikian parah, maka presiden melalui Instruksinya Nomor 4 Tahun 2005 merasa perlu mempertegaskan kembali keterlibatan Tentara Nasional Indonesia untuk :
a. Menangkap setiap pelaku yang tertangkap tangan melakukan penebangan dan peredaran kayu ilegal serta penyelundupan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Republik Indonesia melalui darat atau perairan berdasarkan bukti awal yang cukup dan diproses sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Meningkatkan pengamanan terhadap batas wilayah negara yang rawan kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan perairannya.
f. Menteri Keuangan :
Pemerintah sesungguhnya menyadari bahwa keberhasilan upaya penegakan hukum bidang kehutanan terkait secara langsung dengan ketersediaan dana yang menunjang dalam aktivitas penegakan hukum tersebut. Apalagi mengingat luasnya daerah jangkauan dari suatu penegakan hukum bidang kehutanan serta sulitnya mencapai daerah atau lokasi kegiatan illegal logging, maka sudah dapat dipastikan dukungan dana yang maksimal menjadi syarat utama bagi keberhasilan dalam proses penegakan hukum tersebut.
Oleh karena itu, meskipun tidak memiliki keterkaitan secara langsung dalam proses penegakan hukum bidang kehutanan, Presiden melalui Instruksinya tersebut merasa perlu meminta kepada Menteri Keuangan untuk:
a. Mengalokasikan biaya yang digunakan untuk pelaksanaan Instruksi Presiden ini melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada masing-masing instansi untuk kegiatan operasional maupun insentif bagi pihak yang berjasa.
b. Menginstruksikan kepada aparat Bea Cukai untuk meningkatkan pengawasan dan penindakan terhadap lalu lintas kayu di daerah pabean.
g. Menteri Dalam Negeri:
Dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 dikatakan bahwa keterlibatan Departemen Dalam Negeri dalam hal ini adalah untuk melakukan evaluasi terhadap Peraturan Daerah yang berkaitan dengan bidang kehutanan dan mempercepat penyampaian rekomendasi pencabutan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa sejak otonomi daerah, banyak daerah yang memandang hutan sebagai sumber utama PAD mereka, karena itu sebagai upaya merealisasikan PAD dari hutan tersebut dibuatlah Peraturan Daerah yang bertujuan memperoleh PAD dari sektor kehutanan. Persoalannya adalah berbagai Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah banyak yang melanggar rambu-rambu dan ketentuan hukum yang lebih tinggi sifatnya, dan jelas hal ini secara hukum tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 dipertegas kembali agar Menteri dalam negeri melakukan evaluasi terhadap Peraturan Daerah yang berkaitan dengan bidang kehutanan dan mempercepat penyampaian rekomendasi pencabutan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
h. Menteri Perhubungan :
Salah satu aktivitas yang secara langsung berkaitan dengan aktivitas kejahatan dalam bidang kehutanan adalah dibawa dan diangkutnya hasil kejahatan, seperti kayu atau log, tersebut keluar dari hutan untuk dipasarkan, baik pasar dalam negeri maupun luar negeri. Pada saat inilah keterlibatan armada angkutan, mulai dari angkutan darat seperti truk, ataupun armada angkutan laut seperti Kapal Pelayaran Rakyat yang dengan sengaja mengangkut kayu hasil kejahatan tersebut untuk dibawa ketempat tujuannya.
Oleh karena itu, sebagai bagian dari upaya memutus mata rantai kejahatan dalam bidang kehutanan, dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 2005 dinyatakan bahwa Departemen Perhubungan melalui Menteri Perhubungannya diharapkan dapat:
a. Meningkatkan pengawasan perizinan di bidang angkutan yang mengangkut kayu.
b. Menginstruksikan kepada seluruh Administrator Pelabuhan dan Kepala Kantor Pelabuhan agar tidak memberikan izin pelayaran kepada kapal yang mengangkut kayu ilegal.
c. Menindak tegas perusahaan pengangkutan dan pelayaran yang mengangkut kayu ilegal dengan mencabut izin usaha pelayaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d. Membina organisasi angkutan dalam rangka mendukung pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
3. Para Gubernur :
Mengacu pada Pasal 59-64 Bab VII UU No. 41 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemda bertanggung jawab terhadap pengawasan hutan, dan berdasarkan Bab VIII Pasal 66 disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan tertentu kepada Pemda untuk meningkatkan efisiensi administrasi pengelolaan hutan. Bahkan menurut Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pemerintah Pusat memberikan wewenang kepada Pemda untuk mengeluarkan berbagai izin di dalam wilayah yurisdiksinya. Kewenangan dimaksud diberikan untuk berbagai kegiatan yang tidak terkait dengan hasil hutan kayu, termasuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, serta pemanfaatan dan pengumpulan hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Sebagai tindak lanjut dari konsep pendelegasian wewenang tersebut maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi yang memberikan kewenangan kepada dalam hal ini Gubernur untuk mengeluarkan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk kawasan seluas 10.000 hektar dan memberikan kewenangan kepada Bupati untuk mengeluarkan izin Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) untuk kawasan yang luasnya sekitar 100 hektar. Kedua izin ini dikeluarkan untuk jangka waktu tidak lebih dari satu tahun. Izin-izin ini dikenakan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan, jika izin ini berkaitan dengan penebangan, maka dikenakan Dana Reboisasi. Keputusan Menteri Kehutanan dan Pertanian No. 310 Tahun 1999 tentang Pedoman Pemberian Hak Pemungutan Hasil Hutan yang sekarang juga diberlakukan kembali dan didasarkan pada PP No. 6 Tahun 1999, menjelaskan bahwa izin HPHH untuk 100 hektar dapat dikeluarkan untuk hutan konversi atau hutan produksi dengan tujuan konversi atau guna penataan ulang. Namun demikian, Keputusan Menteri tersebut secara khusus melarang pengeluaran izin HPHH untuk lahan-lahan yang telah berada dalam areal konsesi HPH.
Namun dalam realitasnya, konsep pendelegasian kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dalam bidang kehutanan ini sering dimaknai berlebihan oleh Pemerintah Daerah, dimana Pemerintah Daerah seakan-akan memiliki ruang yang bebas untuk mengatur persoalan kehutanan yang ada dalam lingkup daerahnya masing-masing. Hanya persoalannya kemudian, banyak aturan terutama dalam bentuk perizinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah yang disalahgunakan oleh pemegang izin tersebut, seperti izin sawmill (pengergajian) dimana bahan baku kayunya berasal dari kejahatan.
Menyadari akan besarnya peran pemerintah daerah dalam aktivitas dan kejahatan bidang kehutanan, maka melalui Inpres No. 14 Tahun 2005 ditegaskan bahwa Pemerintah Daerah:
a. Mencabut dan merevisi Peraturan Daerah/Keputusan Gubernur yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
b. Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Provinsi dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya melalui operasi preventif dan represif.
c. Mencabut izin usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Mencabut izin usaha industri pengolahan kayu yang memanfaatkan kayu ilegal dan memproses sesuai kewenangannya.
e. Meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya.
f. Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing.
g. Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
j. Bupati/Walikota :
Serupa dengan kewenangan pemerintah propinsi, kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota di sektor kehutanan juga bersumber pada kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Dapat dikatakan bahwa hampir semua kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan kehutanan merupakan delegasi kewenangan dari pemerintah pusat. Sebagai contoh, pemerintah kabupaten/bupati berwenang untuk:
1. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam wilayah kabupaten/kota.
2. Pengusulan penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
3. Pengusulan pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala kabupaten/kota dengan pertimbangan gubernur.
4. Pengusulan perubahan status dan fungsi hutan dan perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan.
5. Pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi, serta institusi wilayah pengelolaan hutan.
6. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit KPHP.
7. Pertimbangan teknis pemberian izin industri primer hasil hutan kayu.
8. Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala kabupaten/kota.
9. Pelaksanaan pemungutan penerimaan negara bukan pajak skala kabupaten/kota.
10. Penetapan lahan kritis skala kabupaten/kota.
11. dan kewenangan lainnya.
Dalam kaitannya dengan Inpres no. 14 Tahun 2005, pemerintah kabupaten diberikan kewenangan untuk:
a. Mencabut atau merevisi Peraturan Daerah/Keputusan Bupati/Keputusan Walikota yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
b. Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Kabupaten/Kota dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya melalui operasi preventif dan represif.
c. Mencabut izin usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Mencabut izin usaha industri pengolahan kayu yang memanfaatkan kayu ilegal dan memproses sesuai kewenangannya.
e. Mengawasi secara lebih intensif kinerja pejabat penerbit dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) di wilayahnya.
f. Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing.
g. Menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur peredaran kepemilikan dan penggunaan gergaji rantai (chainsaw) dan sejenisnya.
h. Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan melalui Gubernur.
Disamping lembaga-lembaga seperti tersebut di atas, maka sesungguhnya masih ada lagi instansi lainnya seperti Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan Kepala Badan Intelijen Negara, yang bertugas memberikan dukungan dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
Epilog:
Dilihat pada tataran global, sesungguhnya kemauan politik pemerintah dan negara dalam memberantas “illegal logging” sudah jelas, hal ini terlihat dari produk hukum yang mencoba menjawab persoalan yang melingkupi kejahatan dalam bidang kehutanan. Hanya memang pada tataran praktis, hal ini masih perlu diperhatikan dengan seksama, karena kemauan politik yang sudah ada harus dibarengani juga dengan dukungan infrastruktur lainnya, seperti ketersediaan dana, adanya perangkat hukum yang jelas, dan dukungan kuat dari semua kalangan, termasuk masyarakat.
*Makalah disampaikan pada diskusi terbatas yang diadakan oleh LPS AIR, di Fakultas Hukum Untan, Tanggal 8 Februari 2010.
** Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Untan
[1] WWF; Studi Illegal Logging dan Illegal Sawmill Di Kalimantan Barat, Laporan Penelitian Pontianak, Tahun 2002, hal. 9.
[2] lihat Rahmi Hidayat dkk dalam: “ Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu, Penerbit Wana Aksara, 2006: 10.
[3] Beberapa sarjana yang memandang kejahatan ekonomi sebagai yang mendasarkan pada cara pandang normative-positivistik antara lain adalah Dr. Andii Hamzah, SH, Hukum pidana ekonomi, penerbit erlangga, 1983, dan R. Wiyono, SH. Pengantar tindak pidana ekonomi Indonesia, penerbit alumni, 1983.
[4] Salah satu sarjana yang tidak setuju dengan pendekatan yang normative-positivistik ini adalah Mardjono Reksodiputro. Lebih jauh lihat mardjono reksodiputro, kemajuan pembangunan ekonomi dan kejahatan, kumpulan karangan, buku kesatu, penerbit pusat pelayanan keadilan dan pengabdian hokum universitas Indonesia, cet-I, tahun 1994, hal. 48
[5] Muladi, SH. dan Barda Nawawi Arief, SH, Bunga Rampai Hukum Pidana,Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hal. 150.
[6] Ibid, hal. 5-6.
[7] ( Arief Amarullah ; 2006 ; 39 ).
[8] Nitibaskoro, Tb. Ronny Rahman ; 2007; Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Kompas, Jakarta. Hal 50
[9] Menurut convention against transnational organized crimen, atau yang lebih dikenal dengan konvensi Palermo 2000, dalam pasal 3 ayat 2 konvensi tersebut menegaskan bahwa: “an offences is transnational in nature if:
1. It is commited in more than one state;
2. It is commited in one state but a substanstial part of its preparation, planning, direction or control takes place in another state;
3. It is commited in one state but involves an organized criminal group that engages in criminal activities in more than one state; or
4. It is commited in one state but has substantial effects in another state;
[10] Dalam Soewarno Handayaningrat, 1985, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Managemen, Gunung Agung, Jakarta, hlm. 89.
[11] Lihat pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002.
[12] Lihat pasal 1 angka 1,2, 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

1 komentar:


  1. Indonesia immense natural wealth enchanting, ocean and mountain country memjadi assets are priceless.
    bandar togel online terpercaya di indonesia

    BalasHapus