Jumat, 18 November 2011

TAFSIR ETNIS ATAS HUKUM NEGARA


OTONOMI DAERAH DAN KEARIFAN LOKAL
(TAFSIR ETNIS ATAS HUKUM NEGARA)*
Oleh: Hermansyah**
Evidensi histories:
Inilah saatnya kita bangkit, bangkit dari keterpurukan, proses marjinalisasi, kita adalah suku yang besar, kita pernah dijajah, kita harus merdeka, dan kita harus tampil sebagai pemimpin daerah ini, kita adalah penduduk asli yang hak-hak normative kita sudah sekian lama dirampas dari ranah kehidupan kita. Kekayaan alam kita sudah habis dikuras oleh mereka, saatnya kita menata kembali system social kita, kita suku yang besar, kita mempunyai mempunyai system hukum adapt, kita berdaulat atas hutan kita, dan kita mempunyai system pengelolaan dan management hutan yang kaya akan nilai-nilai moral dan kemanusiaan.
A. Pra Wacana
Kemudian untuk sekedar menambah evidensi histories ini adalah: fauzi Bowo gubernur DKI Jakarta orang betawi, Naras terang gubernur Propinsi Kalimantan Tengah adalah penduduk asli. Fadel Muhammad Guberbur Gorontalo adalah orang asli gorontalo, dan Cornellis calon gubernur Kalbar adalah orang dayak asli.[1] Dan masih banyak lagi data yang memperlihatkan bahwa gubernur hamper disemua propinsi yang ada di Indonesia memperlihatkan penduduk asli dari propinsi tersebut.
Menariknya fenomena ini menguat setelah Indonesia memasuki babak baru dalam system pemerintahan, dari system yang sentralistik ke desentralisasi. Sedangkan sebelumnya hamper dapat dikatakan kedua fenomena tersebut tidak muncul kepermukaan. Kalaupun ada, wacana yang dikembangkan dan dilemparkan ditengah public masih bersifat malu-malu, kalau tidak mau dikatakan adanya ketakutan. Namun setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang hal yang sama, kedua fenomena tersebut secara vulgar dan demonstrative dipertontonkan oleh sebagian masyarakat dibeberapa daerah.
Sebelum melihat lebih jauh bagaimana sesungguhnya hal ini mungkin terjadi dan muncul kepermukaan, terutama menyangkut tafsir etnis terhadap hukum Negara ini, maka ada beberapa hal yang kiranya perlu digarisbahawi diantaranya adalah dengan menggunakan cara berpikir linier, sesungguhnya penggantian suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya, atau penggantian suatu system ke system lainnya merupakan suatu keniscayaan. Karena masyarakat terus bergerak maju dari satu titik ketitik yang lainnya. Demikian misalnya, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah,[2] yang menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang hal yang sama merupakan suatu kebutuhan hukum, karena secara substansial apa yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan daerah dirasakan tidak sesuai lagi dengan kondisi social bangsa. Apalagi jika eksistensi suatu produk hukum dikaitkan dengan perkembangan serta nilai yang ada dalam masyarakat, maka selalu terbuka undang-undang tersebut dilakukan kaji ulang, untuk dilakukan perubahan, revisi atau bahkan diganti sama sekali, dan memang demikianlah seharusnya karena undang-undang akan selalu tertinggal jika dibandingkan dengan laju perkembangan masyarakat itu sendiri, serta adanya keterbatasan undang-undang dalam menjawab persoalan yang ada dalam masyarakat.[3]
Demikian juga halnya dengan penggantian konsep sentralisme dengan konsep otonomi dalam menjalankan system pemerintahan, dalam perspektif perspektif politik merupakan suatu kebutuhan juga. Karena selama Indonesia menjalani system sentralisme dalam pemerintahan, banyak persoalan social, seperti pemanfaatan sumber daya alam yang, kemiskinan, kesenjangan antara daerah dengan pusat dan lain sebagainya, dapat dilihat dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dengan pendekatan top-down dan sistem sentralistis, hak-hak normative masyarakat hilang dan lenyap ke dalam kepentingan pemerintah pusat, kondisi ini pada tataran praktisnya menghilangkan pemikiran dinamik dan kritis dari masyarakat sebagai kontrol social terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Program-program pembangunan masa lalu yang telah menghabiskan biaya relatif besar, ternyata belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan riil masyarakat. Dengan pendekatan top down dan sistem yang sentralistik terbukti tidak membuahkan hasil yang optimal. Implementasi pendekatan pembangunan tersebut memberikan ruang yang kecil bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa pihak luarlah (pemerintah) yang lebih tahu dan masyarakat dianggap tidak mampu untuk mengurus hal-hal yang demikian. Ketidakmampuan itu tidak lain sebenarnya karena kesalahan dalam menempatkan masyarakat dalam pembangunan, dimana masyarakat ditempatkan sebagai objek pembangunan dan tanpa melihat potensi dan sumberdayanya agar menjadi kreatif sehingga mereka harus menerima keputusan yang diambil. Karena itu, kegiatan pembangunan makin menjadikan masyarakat bergantung terhadap input-input dari pemerintah. Masyarakat menjadi kurang percaya diri, tidak kreatif dan tidak inovatif.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan melemah diakibatkan oleh memudarnya dan bahkan hilangnya sejumlah lembaga tradisional yang dulu hidup di perdesaan, sebagai akibat politik unifikasi system serta pengambangan cara berpikir pluralitas yang salah arah. Pada hal berbagai lembaga sosial pada tingkat lokal telah diakui memainkan peran penting dalam proses pembangunan di masyarakat. Lembaga ini pada hakekatnya menunjuk pada organisasi informal yang tumbuh di lingkungan yang secara geografis dan kultural merepresentasikan komunitas setempat yang kecil dan terbatas. Oleh karena itu, gagasan dan keputusan politik rakyat Indonesia untuk menjalani system pemerintahan yang terdesentralisasi sifatnya dirasakan sebagai keputusan politik yang dinilai oleh banyak kalangan tepat.
Dengan desentralisasi, berbagai keputusan dan pemanfaatan serta pendistribusian terhadap sumber daya alam diharapkan dengan cepat sampai pada masyarakat/rakyat. Bahkan berbagai kerusakan pada tatanan lingkungan fisik (seperti kehutanan) maupun tatanan social, sebagai akibat dari pengelolaan pembangunan yang sentralistik tidak terjadi kembali, dan diharapkan berbagai lembaga lokal yang secara sosiologis dan antropologis sudah ada sejak lama bias mengambil peran yang lebih besar. Pengambil alihan peran oleh lembaga lokal ini terkait dengan kebijakan exit strategy, yaitu proses pembangunan daerah secara berangsur-angsur diambil alih oleh masyarakat dan pemerintah daerah sendiri.
Dalam desentralisasi juga diharapkan terjadinya proses penguatan akuntabilitas dan inklusivitas, bukan eksklusivitas, kelompok-kelompok masyarakat bias ditingkatkan, sehingga lebih demokratis dan merepresentasikan sebanyak mungkin warga masyarakat, termasuk kelompok-kelompok rentan seperti orang dengan kecacatan, manusia lanjut usia, anak-anak, dan keluarga miskin dalam proses penentuan dan pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi tatanan kehidupan mereka, dan cara dimana peningkatan partisipasi berbasis luas (borad-based participation) diharapkan berbagai keputusan yang berkenaan dengan pembangunan itu sendiri bernilai manfaat bagi masyarakat yang bersangkutan.
B. Otonomi Dan Kearifan Lokal
Dimunculkan konsep otonomi dan desentralisasi untuk pertama kalinya dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada umumnya oleh daerah disambut baik, karena ada undang-undang tersebut memberikan ruang kepada daerah untuk menumbuhkan kembali berbagai lembaga social lokal dalam kehidupan mereka,[4] baik dalam bentuk yayasan, lembaga kemasyarakatan, bidang pemerintahan maupun system pengelolaan sumber daya alam.
Hanya sekedar contoh saja, sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah (sekarang telah diubah menjadi UU no 32 tahun 2004), maka di Sumatera Barat telah lahir pula Peraturan Daerah No.9 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Nagari, dimana sistem pemerintahan Nagari adalah kearipan lokal berupa sistem pemerintahan terendah di Sumatera Barat yang ada sebelum diberlakukannya UU No.5 tahun 1979. Dan sejak diundangkanya Perda No. 9 Tahun 2000 tersebut, Semua Pemerintahan Daerah Kabupaten di Sumatera Barat berbenah diri dan mempersiapkan perangkat yang menunjang sistem pemerintahan nagari, seperti Pemerintahan Nagari, Badan Permusyawaratan Anak Nagari (BPAN) sebagai badan legislatif nagari, Kerapatan Adat Nagari (KAN), Majelis Tungku Tigo Sajarangan, Bundo Kanduang dan Pemuda. Bahkan menyambut gegap gimpitanya era kearipan lokal, Sumatera Barat melalui Gebernurnya mengeluarkan Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 12 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Pembentukan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM).[5]
Demikian juga halnya di Kalimantan Barat, berbagai lembaga lokal mulai di munculkan kembali oleh masyarakat, seperti system peradilan pidana adapt , serta system pengelolaan hutan yang ada pada masyarakat dayak dan biasa dikenal dengan istilah Tembawang atau Dahas. Lembaga-lembaga ini sesungguhnya sudah sejak lama ada dalam kehidupan masyarakat Dayak, bahkan dapat dikatakan lembaga-lembaga lokal ini merupakan lembaga yang sacara sosiologi antropologis ada sejak masyarakat itu sendiri ada.[6]
Tidak hanya itu, lembaga-lembaga lokal yang bersifat tradisional dan ada pada sebuah komunitas lokal merupakan kendaraan dengan mana perubahan sosial dan aksi sosial berlangsung.[7] Bahkan menurut World Bank, jaringan diantara lembaga sosial lokal adalah laksana ‘the building blocks of development’, yakni rangkaian yang berkaitan satu sama lain sehingga membentuk proses sekaligus wujud sebuah aktivitas pembangunan, dan menurut Puttnam jaringan social tersebut terkait secara erat dengan konsep modal social (social capital),[8] dan modal social inilah yang pada akhirnya mampu memunculkan aksi kolektif atas dasar kesadaran bersama.
Namun demikian dibalik tujuan-tujuan normative tersebut, timbul berbagai persoalan yang tidak kalah peliknya, yaitu berupa munculnya kesadaran masyarakat yang sifatnya eksklusif, sektarian, bernuansa etnis sehingga pemahaman dan pelaksanaan konsep otonomi daerah menjadi tidak menentu arahnya.
Pemilihan kepala daerah misalnya, ditafsirkan sebagai suatu bentuk peluang dan keharusan etnis tertentu untuk menjadi kepala daerah. Keharusan ini berkenaan pemahaman etnis tertentu tentang konsep putra daerah sebagai kepala daerah. Pemahaman etno-antropologis menempatkan dan memposisikan bahkan klaim etnis tertentu sebagai putra daerah sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang.
Persoalannya kemudian adalah cara pemahaman yang etno-antropologis ini berimbas pada penafian akan keberadaan etnis lain yang juga mempunyai hak normative yang sama. Dan cara seperti ini, dengan menggunakan analisis Marxian, akan menempatkan kesadaran etnis sebagai bentuk ideologis, dan upaya mempertahankan ideologis cenderung menutup diri untuk berdialog, dan membuka peluang untuk melakukan kekerasan. Gejala inilah yang tampak secara kasat mata di daerah dimana calon dari golongan, etnis tertentu tidak terpilih sebagai kepala daerah.
Demikian juga halnya dengan system pengelolaan sumber daya alam yang berasal tertuang dalam berbagai lembaga dan system lokal, pada gilirannya harus dihadapkan secara diameteral dengan system pengelolaan sumber daya alam dari Negara. Dalam kondisi demikian, benturan dari kedua system tersebut sering berujung pada penyelesaian dengan cara-cara kekerasan.
Kemunculan kesadaran etnis ini bisa dipahami karena selama masa orde baru, berbagai program pembangunan yang dilakukan dinilai dan dirasakan adanya tindakan diskriminatif diantara etnis yang ada. Karenanya ketika otonomi dan desentralisasi dimunculkan, maka ini juga dimaknai oleh etnis tertentu sebagai peluang hukum untuk masing-masing etnis menampilkan eksistensinya.
C. Hukum Negara: Teks Terbuka dan Peluang Tafsir Etnis
Istilah etnis[9], etnisitas atau etnisisme sebenarnya merupakan hal yang relatif baru dalam perbincangan sehari-hari. Sebagai konsep ilmu sosial, demikian Ignas Kleden, etnisitas baru berumur sekitar 30-an tahun, yakni setelah Frederik Barth mempublikasikan tulisannya berjudul Ethnic Groups and Boundaries di tahun 1969.[10] Penggunaan istilah etnis, etnisitas, ini untuk menggantikan istilah suku, sukuisme, atau kesukuan yang banyak dipergunakan sebelumnya. Dan istilah etnis sebelumnya digunakan untuk menunjuk kelompok-kelompok masyarakat yang datang dari luar, misalnya untuk menyebut etnis China, Arab.[11]
Setidaknya terdapat empat pendekatan teoretis dalam melihat fenomena etnisitas ini, yaitu primordialisme, konstruktivisme, instrumentalisme, dan interaksionis. Pendekatan pertama, primordialisme melihat fenomen entnisitas dari kategori-kategori sosio-biologis. Dalam pendekatan ini, umumnya kelompok-kelompok sosial dikarakteristikkan oleh gambaran-gambaran kewilayahan, agama, kebudayaan, bahasa dan organisisi sosial. Ini mengedepankan bahwa etnisitas sebagai sesuatu yang given—sesuatu yang memang dari sananya. Etnisitas dalam model pendekatan pertama ini masih bersifat primordialis dan askriptif, bahwa seseorang menjadi etnis tertentu bukan karena pilihan dirinya.
Pendekatan konstruktivis, yang dikembangkan oleh Frederik Barth, memandang identitas etnis sebagai hasil dari proses sosial yang rumit. Disebut juga sebagai pendekatan situasionalis, ditekankan bahwa organisasi sosial dari perbedaan-perbedaan etnis adalah hasil dari interaksi dengan kelompok sosial lainnya. Pendekatan lain adalah pendekatan instrumentalis, yang lebih menaruh perhatian pada proses manipulasi dan mobilitas politik.[12]
Sedangkan pendekatan interaksionis terhadap kemunculan konsep etnis menurut William Graham Summer, seorang antropolog yang beraliran interaksionis, bermula dari pandangan tentang manusia yang besifat individualistis serta cenderung mengikuti naluri biologis mementingkan diri sendiri, namun karena dia harus berhubungan antarmanusia maka terjadilah sifat hubungan yang antagonistik (pertentangan yang menceraiberaikan). Supaya pertentangan itu dapat dicegah, perlu ada ”folkways” yang bersumber pada pola-pola tertentu. Kemudian mereka yang mempunya ”folkways” yang sama cenderung mengelompok dalam satu kelompok yang disebut kelompok etnik.[13]
Secara tekstual, apa yang diatur dalam hukum Negara, terutama yang mengatur masalah otonomi daerah, tidak ada pernyataan, gagasan yang mengatakan bahwa peraturan ini diperlakukan untuk etnis tertentu. Namun demikian penafsiran etnis atas beberapa pasal atau ketentuan dari hukum Negara seakan tidak terhindari. Pertanyaan akademisnya yang menarik adalah mengapa hal ini bisa terjadi, mengapa hukum Negara tidak bisa terhindar dari berbagai macam penafsiran atas dirinya.
Menjawab pertanyaan atas pertanyaan ini, tentunya bisa dilakukan dengan melihat berbagai pokok persoalan yang ada dalam hukum Negara, namun dalam kesempatan ini penulis hanya akan melihat hukum Negara sebagai wacana tulis dengan berbagai implikasinya.
Sebagai ragam bahasa tulis, hukum Negara tidak hanya sekedar “literal pictographic” atau sekedar inskripsi yang bersifat idografik saja, tetapi apa yang ditulis oleh hukum Negara dapat merupakan suatu totalitas termasuk kemampuannya untuk melampaui apa yang hanya bisa ditunjuk secara fisik. Bahkan sebagai ragam tulis, dengan meminjam pendapat Derrida, hukum Negara merupakan “cybernetic program” yang mencakup konsep jiwa, konsep hidup, nilai, pilihan dan memori.
Karenanya orang dikatakan membaca ketika berhadapan dengan hukum Negara, sedangkan ketika berhadapan dengan sesame orang (dalam ragam bahasa lisan) dikatakan dialog. Karena sifatnya yang tertulis, maka hukum Negara tidak mempunyai sasaran yang jelas, karenanya hukum Negara (sebagai sebuah teks) mempunyai sifat terbuka bagi siapa saja yang bersedia membaca. Meskipun, dalam prakteknya kita tahu bahwa teks mempunyai publikum tertentu.
Demikian juga makna yang ada dalam hukum Negara, dalam perspektif ragam bahasa tulis intensi penulis (pembuat undang-undang) telah lebur dalam tulisan itu sendiri, sehingga penulis yang dalam hal ini pembuat-undang tidak dapat memantau para pembaca untuk menjelaskan intensi makna yang ada dalam bahasa tulis tersebut. Pembaca hanya dapat menginterpretasikan intensi penulis sejauh yang tertulis. Akibatnya, interpretasi satu pembaca dengan pembaca lain, dapat menghasilkan makna yang berbeda-beda. Dengan memperbandingkan wacana lisan dengan tulisan, tampak bahwa wacana lisan mempunyai kemampuan untuk memindahkan sense yang ideal (seperti yang dikehendaki intensi pembicaranya) kedalam referensi nyata yang berhubungan dengan “tentang apa”nya pembicaraan, sedangkan wacana tulis mempunyai keunggulan dalam hal makna yang bebas untuk diinterpretasikan[14]. Dan makna menjadi lebih penting dalam ragam tulis sedangkan dalam ragam lisan justru peristiwalah yang lebih diutamakan.
Disamping itu, dengan meminjam pemikiran Ricour tentang makna yang berbeda antara satu orang, kelompok dengan orang atau kelompok lain ketika membaca hukum Negara sebagai ragam bahasa tulis terjadi karena dalam ragam bahasa tulis proses distansi antara pembaca dengan apa yang dibacanya (hukum Negara) terlihat secara jelas. Pembaca telah mengambil jarak dari penulis, dan berusaha sejauh mungkin masuk dalam tulisan untuk kemudian menginterpretasikan apa yang dibacanya, dan setidaknya distansi ini adalah menurut penulis adalah distansi dalam arti fisik (distance of pyscal) bukan dalam pengertian distansi kejiwaan (distance of psychology). Sebab dalam realitasnya jarak fisiklah yang dapat dilakukan, sedangkan jarak psykologis merupakan suatu keniscayaan dalam melihat suatu teks, dan dengan tidak adanya jarak psykologis inilah yang membuat orang yang membaca teks mampu menangkap dengan baik pesan atau makna yang ada dalam teks tersebut atau sebaliknya.
Hal yang juga penting mengapa hukum Negara sebagai sebuah teks tertulis bisa memunculkan berbagai macam makna melalui proses interpretasi terhadapnya. Hal ini berkenaan-menurut Halliday-dengan sifat teks itu sendiri yang isinya merupakan rangkaian makna-makna[15]. Bahkan Schliermacher berpendapat bahwa teks bukan hanya sekedar res extensa bukan obyek mati. Schliermacher menolak dan melawan pembakuan makna yang obyektiv-makanis dibidang kesusastraan (teks tertulis-pen)., Schliemecher senantiasa merasakan adanya sesuatu yang belum lengkap, belum selesai, masih perlu di cari[16]. Menurutnya semua karya, entah dokumen hukum, kitab suci, atau karya sastra pada hakekatnya sama. Pemahaman (versetehen) merupakan masalah pokok semua bacaan teks (bahasa tulis). Barang siapa membaca, harus keluar dari pendiriannya (gesinnung) agar terbuka terhadap pendirian pengarang karya (legislator-pen)[17]. Demikian juga Frederich Ast, berpendapat bahwa tata bahasa, data factual, teks (tulisan) memuat kesatuan jiwa (einheit des geistes) pada umat manusia[18].
Oleh karena itu, munculnya hermeneutic etnis atas hukum Negara kiranya tak terhindarkan karena hukum Negara sebagai teks tertulis-dengan segala sifatnya seperti tersebut diatas-membuka diri untuk bisa dilakukan penafsiran yang beragam. Hal ini dikarenakan apa yang dilakukan bukan dialog tetapi upaya penafsiran atas teks itu sendiri. Apakah hermeneutik yang dilakukan tersebut menggunakan hermeneutik huruf (hermeneutik des buchstaben), hermeneutik makna (hermeneutik des sinnes) atau hermeneutik latar belakang pemikiran (hermeneutik des geistes),[19] atau juga hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis dan hermeneutika kritis, [20] selalu terbuka untuk memunculkan perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh hukum Negara itu sendiri dengan hasil penafsiran itu sendiri.

D. Catatan Akhir

Bergesernya wacana lisan ke bentuk tulisan merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari, sebagai bentuk perkembangan peradaban manusia di atas muka bumi. Melalui tulisan manusia mampu menguap segala mesteri kehidupan, untuk menata kehidupan masa depan.
Karena sifatnya reduksionisme pada fakta, maka wacana tulisan sering menampilkan pragmentarisme kehidupan, kehidupan terlihat menjadi tidak utuh, kehidupan digambarkan sebagai yang sangat sederhana jika dibandingkan dengan kehidupan yang sebenarnya.
Demikian juga undang-undang, sebagai bentuk wacana tulisan sering menimbulkan permasalahan kemanusian, meskipun maksudnya untuk mengatasi persoalan kemanusian. Interpretasi menjadi penting dalam melihat undang-undang sebagai wacana tulisan. Hanya permasalahannya hermeneutik ataupun penafsiran yang dilakukan selalu terbuka terbuka untuk ditafsirkan lain seperti apa yang dimaksudkan oleh hukum Negara itu sendiri.
Karenanya hermeneutic konteks mungkin merupakan gagasan yang perlu dilontarkan ketika seluruh elemen yang ada dalam masyarakat mencoba membaca dan menafsirkan hukum Negara. Dalam hermeneutic konteks ini, kesepakatan semua etnis, elemen yang ada dalam masyarakat yang plural, dalam mencari makna universal dalam hukum Negara dengan tetap memperhatikan makna yang parsial menjadi penting. Bukan dengan cara menafsirkan secara eksklusif atas hukum Negara, tetapi perlu adanya pembacaan dan penafsiran yang inklusif.
Jika pembacaan terhadap hukum Negara, terutama menyangkut persoalan otonomi daerah, dilakukan dengan heremenutik konteks maka tujuan mulia dari gagasan yang ada dalam otonomi daerah bisa tercapai. Berbagai kearifan lokal yang ada dan tersembunyi selama ini bisa dimunculkan kembali dengan tetap memperhatikan bahwa lembaga lokal dan kearifan lokal juga bersifat plural.
DAFTAR BACAAN
Alo Liliweri, W.S. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya, Penerbit Pustaka Pelajar, Cet-1, Yogyakarta, 2001,
Berger P & Luckmann, T, The Sosial Construction Of Reality: A Treatise In The Sosiologi Of Knowledge, Ny:Doubleday & Company, 1967
Berten, Dr. K. Filsafat Barat Abab XX, Penerbit Gramedia, Jakarta.
Budi Hardiman F., Kritik Idiologi: Pertautan Pengetahuan Dan Kepentingan, penerbit Kanisius yogyakarta.
Budi Hardiman F., Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu, Masyarakat, Politik & Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Chris Barker, Cultural Studies Teori Dan Praktek, Penerbit Kreasi Wacana Yogyakarta, Cet-1, 2004,
Dershem, Larry dan David Gzirishvili (1998). “Informal Social Support Network and Household Vulnerability: Empirical Findings from Georgia”. World Development. Vol.26. No.10.
Donny Gahral Adian, Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer, Penerbit Jalasutra Yogyakarta, 2002.
Dragan Milovanovic, A Primer In The Sociology Of Law, Harrow And Heston Publisher, New York, 1994. hal. 51.
Emmanuel Gerit Singgih, Etnisitas dan Identitas: Sebuah Pengantar, pengantar dalam Ubed Abdilah S, Politik Identitas Etnis Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Penerbit Indonesia Tera, 2002,
Halliday. M.A.K. & Ruqaiya Hasan, Bahasa, Konteks, Dan Teks, Aspek-Aspek Bahasa Dalam Pandangan Semiotic Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994.
Ilham B. Saenong, Hermenutika Pembebasan, Metode Tafsif Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Penerbit Teraju, Jakarta 2002.
Lihat Ignas Kleden, Konflik etnis atau Konflik Politik, Mingguan Tempo 6 Januari 2002.
Malcom Waters, Modern Sociological Theory, Sage Publications, 1994.
Matheus Pilin dan Edi Petebang, Hutan: Darah Dan Jiwa Dayak, diterbitkan oleh Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) Kalimantan Barat 1999.
Poespoprodjo Dr., Interpretasi, Remadja Karya, Bandung, 1987.
Poespoprodjo, Dr. W L, Subjektivitas Dalam Historiografi, Penerbit Remadja Karya, Bandung, 1987.
Pudentia MPSS (Editor), Metodologi Kajian Tradisi Lisan, Yayasan Obor Indonesia Dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, Jakarta, 1998.
Reingold, David A. (1999). “Social Networks and the Employment Problems of the Urban Poor”. Urban Studies. Vol.36. No.11.
Rizal Mustamsyir, Drs. Filsafat Analitik, Sejarah Perkembangan Dan Peran Para Tokohnya, Rajawali Press, Jakarta 1987.
Roberts, Bryan R. (1995). The Making of Citizen: Cities of Peasants Revisited. London: Halsted Press.
Sumaryono E, Hermeneutik, sebuah Metode Filsafat, edisi revisi Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Sutandyo Wignjosoebroto, Permasalahan Paradigma Dalam Ilmu Hukum Indonesia, makalah pada Simposium Nasional Ilmu Hukum , PDIH-INDIP, Semarang, 1998.b.
Syaifullah, Berjudul Kebijakan Di Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati (disertasi), Dipertahankan Di Hadapan Rapat Senat Terbuka Universitas Diponegoro Pada Tanggal 21 Maret 2003.
Ubed Abdilah S, Politik Identitas Etnis Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Penerbit Indonesia Tera, 2002
Yudha Bhakti Ardhiwisastra. Penafsiran Dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni,Bandug, Thn 2000.


* Makalah disampaikan pada seminar pada tanggal 24 nopember 2007 di semarang.
** Penulis adalah dosen fakultas hokum universitas tanjungpura pontianak
[1] Pada saat tulisan ini dibuat, Kalbar pada tanggal 15 Nopember 2007 telah melakukan Pilkada secara langsung untuk pertama kalinya. Dari empat calon gubernur Kalbar, pasangan Cornellis dan Chirstiandy sanjaya adalah pasangan yang menarik perhatian public Kalbar karena pasangan ini adalah pasangan antara etnis dayak (cornellis) dengan etnis China (Christiandy Sanjaya). Bahkan sampai dengan tanggal 18 Nopember 2007 hasil perhitungan KPU memperlihatkan pasangan ini unggul dari ketiga pasangan lainnya, yaitu pasangan Usman Ja’far (Melayu) dan LH Kadir (dayak), Oesman sapta (Melayu) dan Lyiong (Dayak) dan pasangan M. Akil Mohtar (Melayu) dan Mecer (dayak).
[2] Undang-undang nomor 22 tahun 1999 kemudian digantikan oleh undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang hal yang sama
[3] Pemikiran ini beranjak dari tesisnya satjipto rahardjo yang mengatakan bahwa “kesalahan atau kecacatan termasuk Undang-undang terjadi sejak pikiran yang melatar belakangi kelahirannya dituangkan ke dalam kata-kata. Itu karena kata-kata tidak mungkin bisa menuangkan secara lengkap atas ide dasar tersebut. Dengan demikian undang-undang sebenarnya cacat sejak lahir. Pendapat Prof. Satjipto Rahardjo, SH Tersebut Dikutip Dari Halaman Renungan Pada Ringkasan Disertasi Syaifullah Yang Berjudul Kebijakan Di Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati, yang dipertahankan Di Hadapan Rapat Senat Terbuka Universitas Diponegoro Pada Tanggal 21 Maret 2003.
[4] Menurut World Bank setidak ada enam criteria yayasan dan lembaga kemasyarakatan, yang dapat dijadikan patokan dalam memberikan pengertian atau pendefinisian terhadap lembaga sosial lokal, yaitu diantaranya: Grantmaking, Fund-raising (both local and external to community), Broadly defined vision, Local board of trustees reflective of community, Serving geographically defined community, dan Building endowment. Lebih jauh lihat World Bank (1998). The Local Level Institutions Study (Social Capital Working Paper Series). Washington DC: The World Bank, hal. 3
[5] Kemunculan Keputusan Gubernur ini juga didasari oleh Surat Menteri Dalam Negeri No. 414.2/838/59 tanggal 9 Mei 2001 perihal Keputusan Presiden No. 49 Tahun 2001, tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau sebutan lain.
[6] Negera melalui Pasal 18B UUD 1945 yang merupakan pasal amandemen mengakui eksistensi lembaga ini, hal ini bias dilihat dari isi pasal tersebut yang mengatakan bahwa : (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik indonesia yang diatur dalam undang -undang.
[7] Roberts, Bryan R. (1995). The Making of Citizen: Cities of Peasants Revisited. London: Halsted Press. Lihat juga Dershem, Larry dan David Gzirishvili (1998). “Informal Social Support Network and Household Vulnerability: Empirical Findings from Georgia”. World Development. Vol.26. No.10. Halaman 1827-1838. dan lihat juga Reingold, David A. (1999). “Social Networks and the Employment Problems of the Urban Poor”. Urban Studies. Vol.36. No.11. Halaman 1907-1932.
[8] Menurut World Bank (1998). Social capital…is the network of horizontal connections which leads to mutual commitment and trust and enables people and their institutions to function effectively. To be successful, development needs to both strengthen institutions and enhance the social capital on which they depend. Lihat World Bank, Op cit, hal 1.
[9] Secara etimologis, kata etnis berasal dari bahasa Yunani yaitu ”Etnichos” yang digunakan untuk menerangkan keberadaan sekelompok penyembah berhala atau kafir. Dalam perkembangannya kemudian istilah etnis mengacu pada kelompok yang diasumsikan memiliki sikap fanatik terhadap ideologinya. Sedangkan dalam ilmu sosial kata etnis itu sendiri mengacu pada sekelompok penduduk yang mempunyai kesamaan sifat-sifat kebudayaan, misalnya bahasa, adat istiadat, prilaku budaya karakteristik budaya, serta sejarah.Alo Liliweri, W.S. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya, Penerbit Pustaka Pelajar, Cet-1, Yogyakarta, 2001, hal. 335. lihat juga Chris Barker, Cultural Studies Teori Dan Praktek, Penerbit Kreasi Wacana Yogyakarta, Cet-1, 2004, hal 201
[10] Lihat Ignas Kleden, Konflik etnis atau Konflik Politik, Mingguan Tempo 6 Januari 2002.
[11] Emmanuel Gerit Singgih, Etnisitas dan Identitas: Sebuah Pengantar, pengantar dalam Ubed Abdilah S, Politik Identitas Etnis Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Penerbit Indonesia Tera, 2002, hal. Ix.
[12] Ubed Abdilah S, Politik Identitas Etnis Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Penerbit Indonesia Tera, 2002
[13] William Graham Summer, dalam Alo Liliweri, W.S Op Cit. hal 335.
[14] Pudentia MPSS (Editor), Metodologi Kajian Tradisi Lisan, Yayasan Obor Indonesia Dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, Jakarta, 1998, 114.
[15] M.A.K. Halliday, Op Cit, Hal. 14.
[16] Dr. Poespoprodjo, Interpretasi, Remadja Karya, Bandung, 1987, hal 41.
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Dr. poespoprdjo (a), op cit. hal 42
[20] Ilham B. Saenong, Hermenutika Pembebasan, Metode Tafsif Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Penerbit Teraju, Jakarta 2002, hal. 34-45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar