Senin, 14 November 2011

UNDANG-UNDANG: WACANA LISAN KE WACANA TULISAN


UNDANG-UNDANG

PERGESERAN DARI WACANA LISAN KE WACANA TULISAN
(SUATU REFLEKSI HERMENEUTIK)
oleh: Dr.Hermansyah, SH.M.Hum, *
ABSTRAK
Dalam perspektif linguistik, undang-undang merupakan salah satu wacana terutama wacana tulisan. Sebagai wacana, undang-undang bukan hanya sekedar mengatakan sesuatu, tetapi mereferensi kepada sesuatu. Pada sisi inilah penafsiran terhadap undang-undang merupakan suatu keniscayaan. Hanya memang hermeneutic yang selama ini mendominiasi adalah hermeneutic teoritis yang memiliki keterbatasan dalam melihat referensi tersebut. Agak berbeda dengan hermeneutic teoritis, hermeneutic kritis memiliki kemampuan dalam melihat referensi tersebut.
Kata kunci: Wacana Tulis, Hermeneuik Teoritik dan Hermeneutik Kritis
ABSTRACT
In linguistic perpectives, law represent one of the discourse especially writing discourse. As discourse, law not merely simply telling something, but reference to something. At this side is interpretation or hermeneutic of law is an undoubtedly represent. But theoretical hermeneutic is dominatied which have limitation in seeing the reference. Rather is differing from theoretical hermeneutic, critical hermeneutic have ability in seeing that reference.
Key word: Writing Discourse, Theoretical Hermeneutic and Critical Hermeneutic
A. Pendahuluan:
Ada satu tesis yang menarik dari Prof. Satjipto Rahadjo yang mengatakan bahwa: Kesalahan atau kecacatan termasuk undang-undang terjadi sejak pikiran yang melatar belakangi kelahirannya dituangkan ke dalam kata-kata. Itu karena kata-kata tidak mungkin bisa menuangkan secara lengkap atas ide dasar tersebut. Dengan demikian undang-undang sebenarnya cacat sejak lahir.[1] Tesis tersebut berangkat dari persoalan yang ada dalam ragam bahasa tulisan yang memang sudah sejak lama menjadi perhatian para ahli terutama para ahli linguistik.
Plato misalnya, tidak menyetujui adanya tulisan, tetapi ironisnya ia sendiri bahkan melahirkan cukup banyak tulisan. Penolakannya terhadap tulisan berangkat dari pemikiran tentang adanya hubungan antara jiwa dengan pengetahuan yang pada gilirannya akan melibatkan tulisan. Ia mengkaji mite yang menceritakan kisah raja Mesir yang menerima kedatangan Dewa Teuth, yaitu dewa yang memperkenalkan pengetahuan pada manusia, misalnya bilangan, geometri, astronomi dan ia pula yang memperkenalkan “Grammata”, yaitu karekter tulisan. Teuth menganggap bahwa pengetahuan “grammata” dapat menjadikan orang mesir lebih bijaksana dan lebih mampu untuk mengingat sesuatu. Tetapi raja Mesir menyatakan menolak kalau rakyatnya diajar menulis, karena tulisan dianggap dapat memperlemah kemampuan jiwa untuk mengingat[2].
Demikian juga Sacrates pandapatnya tentang tulisan tidak kalah menarik daripada Plato. Baginya, tulisan sepertinya halnya lukisan tidak hidup, karena mereka akan tetap diam kalau kita tanya. Demikian pula halnya dengan tulisan, yang akan tetap diam meskipun kita ingin mengetahui sesuatu yang tertulis itu. Kesimpulan yang tidak jauh berbeda juga dikemukan oleh Aristoteles yang menganggap tulisan mempunyai status yang kurang penting, karena secara umum tulisan adalah jiplakan dari bahasa. Ia menganggap bicara adalah simbol jiwa dan tulisan adalah simbol dari simbol dalam bicara. Baginya kata-kata yang diucapkan lebih dianggap penting daripada tulisan, karena suara manusia mempunyai hubungan yang langsung dengan pikiran. Dengan demikian tulisan dianggapnya menjadi sesuatu yang kurang penting.
B. Wacana Tulis dan Persoalannya
Mereka yang berpendapat seperti tersebut di atas, sesungguhnya tidak berarti tidak menyetujui sama sekali arti pentingnya bahasa tulisan, tetapi lebih melihat bagaimnya sesungguhnya peran bahasa tersebut dalam kehidupan. Seperti Gadamer, melihat bahwa bahasa bukan hanya sekedar tanda (zeichen), bukan bentuk, bukan juga alat (werkzeug), sebab-lebih lanjut menurutnya-bilamana kata dipandang hanya sebagai fungsi tanda (zeichenfunition), maka lenyaplah hubungan azali (ursprungliche zusammenhaug) antara berkata dan berpikir, dan munculah hubungan instrumental, kata berfungsi sebagai alat[3]. Bahkan bahasa dapat dilihat sebagai “semiotic sosial”, yang memperlihatkan hubungan antara bahasa pada satu sisi dengan struktur sosial pada sisi lainnya[4].
Beranjak dari realitas pluralitasnya bahasa, Wittgenstein mengajukan konsep “Tata Permainan Bahasa (Language Games)” yang melihat bahasa (lisan) mempunyai kemampuan untuk mempertemukan keinginan, kepentingan yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lain, asalkan-lebih lanjut Wittgenstein mengatakan-dimengertinya atau dipahaminya bahasa yang berbeda tersebut, sebab kalau tidak maka akan terjadi kekacauan komunikasi[5]. Konsep “tata permainan bahasa (language games) tersebut diajukan oleh Wittgenstein sebagai bentuk penolakan tesis yang diajukannya sebelumnya yang mengatakan bahwa: pertama, bahasa dipakai hanya satu tujuan saja yakni menetepkan “state of affairs” (keadaan faktual). Kedua bahwa kalimat mendapat maknanya dengan satu cara saja yaitu menggambarkan satu keadaan faktual, dan ketiga bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan alam bahasa logika yang sempurna[6].
Namun demikian, dalam perkembangannya terlihat tulisan semakin menjadi penting bahkan merupakan bagian dari kebudayaan dan peradaban manusia, dengan tulisan manusia mampu melihat jauh kebelakang, serta meletakkan landasan tujuan kedepan. Hampir dipastikan beradanya manusia sampai pada saat ini, dengan segala kemajuannya, merupakan dampak dikenalnya tulisan pada manusia. Dengan tulisan juga akhirnya manusia mampu membaca dan menuangkan kembali rahasia alam semesta. Sehingga meskipun terdapat banyak permasalahan yang dimunculkan oleh ragam bahasa tulisan, namun disadari betul betapa ragam tulisan ini telah memberikan pencerahan bagi manusia
Derrida-misalnya adalah orang yang boleh dianggap mempunyai andil cukup besar, yang menganggap bahwa tulisan itu penting. Baginya, tulisan bukan hanya sekedar “literal pictographic” atau sekedar inskripsi yang bersifat idografik saja, tetapi tulisan dapat merupakan suatu totalitas termasuk kemampuannya untuk melampaui apa yang hanya bisa ditunjuk secara fisik. Seperti misalnya orang dapat mengetahui dan merasakan kehidupan di padang rumput Amerika melalui tulisan Ingals wilders, tanpa ia harus tinggal di padang rumput itu. Apa yang terjadi sekarang adalah, tulisan telah menjadi apa yang oleh Derrida sebut sebagai “cybernetic program” yang mencakup konsep jiwa, konsep hidup, nilai, pilihan dan memori. Kini, tulisan telah mempunyai ciri historis metafisiknya yang berbeda dari masa fono-logosentris, dan orang dapat langsung membawakan pikirannya ke dalam bentuk tulisan tanpa melalui bahasa lisan.
Hamapir sama dengan Derrida, dalam hal ini Paul Ricour mempunyai peranan yang tidak boleh diabaikan. Baginya, menulis dan bertutur atau tulisan dan lisan adalah kemampuan-kemampuan manusia yang berasal dari dua bentuk wacana lisan dan wacana tulisan. Dan Paul Ricour melihat salah satu persoalan yang ada dalam wacana tulisan adalah bagaimana makna yang ada dalam wacana tulisan tersebut harus dilihat. Menelusuri pemikiran lebih jauh pendapat Paul Ricour tentang wacana tulis memperlihatkan bahwa wacara tulis pada dasarnya juga merupakan wacana lisan, hanya dalam wacana tulis ini, apa yang ada dalam wacana lisan difiksasi (proses pembekuan) oleh wacana tulisan yang tertuang dalam bentuk teks.
Oleh karena itu, teks menurut Ricouer adalah wacana (berarti lisan) yang difiksasikan ke dalam bentuk tulisan. Dalam definisi tersebut secara implisit sebenarnya telah diperlihatkan adanya hubungan antara tulisan dengan teks. Apabila tulisan adalah bahan lisan yang difiksasikan (kedalam bentuk tulisan), maka teks adalah wacana (lisan) yang difiksasikan ke bentuk teks.
Hal yang penting-menurut Halliday-mengenai sifat teks ialah bahwa meskipun teks tertulis, baik dalam bentuk kata atau kalimat, namun sesungguhnya tediri dari makna-makna[7]. Hampir sama dengan pendapat Halliday, Schliermacher berpendapat bahwa teks bukan hanya sekedar res extensa bukan obyek mati, karenanya membaca teks adalah suatu dialogi dengan pengarang. Schliemecher menentang konsepsi-konsepsi intelektual yang umum diterima pada masanya dan melawan pembakuan obyektiv-makanis dibidang kesusastraan (teks tertulis-pen) yang lazim pada saat itu, yaitu yang bersumber pada paham klasisisme. Berlawanan dengan klasisisme yang pembakuannya serta sudah selesai, mandeg, Schliemecher senantiasa merasakan adanya sesuatu yang belum lengkap, belum selesai, masih perlu di cari[8]. Menurutnya semua karya, entah dokumen hukum, kitab suci, atau karya sastra pada hakekatnya sama. Pemahaman (versetehen) merupakan masalah pokok semua bacaan teks (bahasa tulis). Barang siapa membaca, harus keluar dari pendiriannya (gesinnung) agar terbuka terhadap pendirian pengarang karya (legislator-pen)[9]. Demikian juga Frederich Ast, berpendapat bahwa tata bahasa, data faktual, teks (tulisan) memuat kesatuan jiwa (einheit des geistes) pada umat manusia[10].
Fiksasi dalam wacana tulisan diperlukan karena aspek peristiwa dalam wacana lisan selalu tampak bergerak, datang pergi dan hilang kembali. Melalui fiksasi inilah makna suatu aspek peristiwa yang bergerak itu dapat dibekukan. Disinilah menurut Gadamer pengaruh dari cita-cita ilmu yang selalu mencita-citakan penunjukkan yang serba eksak dan pembentukan konsep-konsep yang jelas dan tidak berdwiarti[11]
Apa yang hendak difikasasi dalam wacana tulisan secara harfiah adalah makna wacana lisan, melalui fiksasi, sistem wacana yang sifatnya temporal dapat dibekukan menjadi atemporal dan tidak pernah hilang. Dengan kata lain, sebenarnya orang tidak menulis aspek peristiwanya suatu wacana, karena yang ditulis atau difiksasi adalah “tentang apa”nya suatu ujaran. Meminjam istilah Ricour, yang difiksasi adalah intensi dari ekstriotisasi pasangan yang berdialegtik, yaitu peristiwa dan makna.
Hanya persoalannya, menurut penulis, apakah peristiwa tersebut merupakan pengertian obyektiv atau sekedar tampilan subyektif pengarang terhadap suatu peristiwa. Sebab jika yang ditampilkan adalah subyektivitas penulis, maka yang menjadi permasalahannya adalah adanya jarak sosial dalam teks tersebut (sosial gap), apalagi tulisan tersebut dibuat atas dasar otoritas yang formal sifatnya.
Ciri kedua dari teks, menurut ricouer, sebagai wacana tulis adalah terjadi proses otonomisasi. Dengan otonomisasi intensi penulis, Ricour ingin mengatakan bahwa dalam ragam teks, terlihat adanya alienasi kesadaran, antara kesadaran penulis sendiri dengan kesadaran akan teks itu sendiri. Maksudnya adalah satu pihak teks dapat menjadi lebih sempit dari intensi penulis, tetapi di lain pihak teks juga dapat menjadi lebih luas dari intensi penulis. Dalam bidang hukum ini terlihat terkadang makna atau kata dalam teks menjadi semakin luasnya apa yang dimaksud dengan si pembuat itu sendiri (legislator). Apa yang hendak dikatakan dengan uraian tersebut di atas adalah bahwa teks bukan hanya sekedar fiksasi, karena situasi oral wacana dari wacana (wacana lisan) juga bisa ditemuka dalam wacana tulis.
C. Hermeneutik: Suatu Refleksi
Kuatnya positivisme hukum dalam khasanah perkembangan ilmu hukum di Indonesia lebih dikarenakan sebagai warisan sistem Belanda (inherited from the dutch colonial sistem of law) yang pernah menjajah Indonesia. Sistem hukum Belanda ini termasuk dalam keluarga hukum Eropa Kontinental yang bersifat liberal[12]. Kontribusinya terhadap proses pembangunan secara keseluruhan bagi Indonesia memang harus diakui. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang diproduksi merupakan salah satu bukti dari keberhasilan positivisme hukum.
Namun ini tidak berarti positivisme hukum sebagai salah satu paradigma hukum tidak menimbulkan permasalahan, permasalahan yang utama tentunya dihadapkan pada realitas banyaknya bentuk-bentuk perilaku yang justru tidak sesuai dengan hukum positiv itu sendiri. Ketidakmampuan positivisme hukum dalam melihat fenomena yang ada dalam masyarakat, membuat paradigma positivisme hukum beserta implikasi teoritis dan praktis dipertanyakan keberadaannya. Oleh karena itu pada dasawarsa 60-70an, di Indonesia mulai masuk paradigma kajian hukum baru yang lebih dikenal dengan kajian hukum kritis (Critical Legal Study) sebagai bentuk gugatan terhadap epistemologi yang ada pada logical positivism, yang melihat hukum sebagai bentuk konstruksi lewat interaksi antar-manusia[13]. Penulis melihat kritik yang dilakukan terhadap logika positivisme tidak hanya tertuju pada aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya, tetapi juga ditujukan pada aspek sikap positivistik[14] yang muncul dari positivisme, persoalannya adalah sikap atau cara pandang yang positivistic ini menafikan keberadaan cara pandang lain.
Sisi ontologis terlihat bahwa positivisme hukum melihat kebenaran merupakan sesuatu yang obyektiv dan universal, kebenaran mengandung korelasi pengamatan inderawi, yang sifat teramati dan terukur, persoalan yang metafisis dijauhkan dari prasangka kebenaran. Subyek dengan sendirinya mempunyai jarak yang jelas dengan obyek. Cara berpikir deduktif merupakan metode epistemology yang digunakan, akibatnya seorang penegak hukum hanya sekedar melihat sampai sejauh mana fakta impiris berupa peristiwa hukum berkesesuaian dengan teks undang-undang. Obyektivitas dan universalisme merupakan aksiologis yang ingin dibangun, sehingga menginkari partikularitas dan subyektivitas. Pada hal partikularitas dan subyektivitas merupakan keniscayaan dari realitas sosial.
Kritik terhadap positivisme dapat juga dilakukan dengan menggunakan metode hermeneutik, dimana menurut Collin adalah salah satu dari delapan posisi argumentativ kaum konstruktivis selain etnomotodologi, relativisme budaya, konstruktivisme sosial bergerian, relativitas linguistik, fenomenologi, simbolisme fakta sosial dan paradigma konvensi[15].
Penggunaan hermeneutik sebagai landasan utama dalam mencoba melihat persoalan yang muncul seperti di atas adalah menurut penulis sangat relevan, hal mana pada satu sisi didasari pada ralitas tidak bisa ditiadakannya sistem peradilan formal dalam suatu negara serta dalam melaksanakan fungsinya aktivitas penafsiran merupakan bagian yang paling utama. Pada sisi lain realitas memperlihatkan bahwa masih kuatnya sistem pernyelesaian yang dilakukan oleh masyarakat tanpa harus melalui jalur penyelesaian formal, bahkan penyelesaian tersebut cenderung mengarah pada kekerasaan.
Disamping itu penulis melihat hermeneutik sebagai suatu paradigma dalam kajian hukum merupakan sintesa antara kuatnya peranan positivisme hukum pada satu sisi, dengan kajian sosial terhadap hukum pada sisi lain. Karena hermeneutik pada satu sisi mengakui hukum tertulis sebagai fakta sosial yang merupakan manifestasi dari positivisme hukum, namun pada sisi lain melihat sampai sejauh hukum tertulis tersebut di interpretasi dalam konteks yang kritis.
Refleksi hermeneutik menjadi penting bila kita berhubungan dengan manusia yang pengalaman-pengalamannya tidak selalu dapat dipilah-pilahkan dalam kategori, tidak bisa digolong-golongkan, maupun tidak dapat dipelajari secara artificial, apalagi dengan melakukan reduksi kompleksitas menjadi simplikasi terhadap manusia.
Apalagi dalam bidang hukum, undang-undang pada dasarnya merupakan peralihan bahasa lisan ke bahasa tulis, memiliki makna yang ganda, baik makna yang tersurat maupun yang tersirat, atau bunyi hukum dan semangat hukum, dua hal yang selalu diperdebatkan oleh kalangan hukum. Penegakan hukum pada dasarnya adalah upaya melakukan interpretasi terhadap dokumen hukum, sehingga kegiatan hermeneutik tidak dapat terpisahkan dengan begitu saja dalam aktivitias penegakan hukum.
Hermeneutik berarti “menafsirkan” atau interpretasi[16]. Sama halnya dengan ilmu lainnya, hermeneutik sebagai suatu disiplin ilmu mengalami perubahan cara pandang terhadap obyek pembicaraannya.
Friederich Ast[17] (1778-1841) mencoba membagi hermeneutik ini menjadi tiga yaitu pertama hermeneutik huruf (hermeneutik des buchstaben), kedua hermeneutik makna (hermeneutik des sinnes) dan ketiga hermeneutik latar belakang pemikiran (hermeneutik des geistes). Pembagian hermeneutik menurut F. Ast ini didasari pada pemahamannya pada tiga hal yaitu isi karya, bahasa, dan jiwa pengarang.
Secara akademik, hermeneutik dibagi dalam tiga bentuk yaitu: pertama hermeneutika teoritis, kedua hermeneutika filosofis dan ketiga hermeneutika kritis [18].
1. Hermeneutik Teoritis
Hermeneutik teoritis berkenaan dengan suatu metode dalam menafsirkan suatu teks, yaitu mempersoalkan metode apa yang sesuai untuk menafsirkan teks sehingga mampu menghindarkan seorang penafsir dari kesalahpahaman, dus menemukan makna obyektif dengan metode yang valid tersebut.
Ada dua hal yang penting dalam hermeneutik teoritis, yaitu penafsiran dilakukan secara gramatikal, untuk kemudian melompat kepada penafsiran psikologis. Gramatikal dipahami sesuai dengan maksud dari pembuat teks, untuk kemudian dipahami dan diyakini secara psikologis makna obyektif dari teks tersebut, penafsiran psikologis inilah yang menurut Shleiermacher merupakan validasi dari penafsiran gramatikal. Hal ini berarti menempatkan teks pada waktu dan tempat penyusunannya, sebagaimana dalam rekonstruksi logis dari makna berdasarkan analisis formal dan penelitian historis, namun itu juga berarti menelusuri proses penyusunan sebuah teks[19]. Makna suatu teks hanya dapat ditetapkan dengan merujuk pada lapangan kebudayaan pada saat teks tersebut dibuat.
Dengan pendekatan hermeneutik teoritis ini terlihat penafsiran yang menjadi pilar utamanya-terutama dalam bidang hukum-adalah penafsiran Gramatikal, Penafsiran Resmi Undang-Undang[20].
2. Hermeneutik filosofis
Hermeneutik filosofis lebih menekankan pada produksi makna baru dan bukan reproduksi makna awal dalam melihat suatu teks[21]. Sehingga lebih menekankan kepada bahasa dan permainan bahasa[22]. Dalam bidang hukum, hermeneutik filosofis ini terlihat dengan digunakannya penafsiran historis, dimana setiap perundang-undangan mempunyai sejarahnya. Dari sejarah peraturan perundang-undangan hakim dapat mengetahui maksud pembuatnya.
Permasalahannya adalah subyek mempunyai keterbatasan untuk mencoba melihat kebelakang, dalam kondisi dan setting sosial, politik bagaimana lahirnya suatu peraturan perundang-undangan. Atau bahkan kondisi sosial, politik pada saat itu sudah mengalami perubahan. Sehingga kalau makna histories yang dicoba untuk diaktualisasikan dalam proses penegakan hukum, maka akan terjadi “gap” yang besar, sehingga mungkin akan menimbulkan “Chaos” dalam masyarakat.
3. Hermeneutik kritis
Sangat berbeda pada kedua hermeneutik tersebut sebelumnya, hermeneutik kritis justru lebih menekankan pada factor-faktor ekstralinguistik sebagai masalah yang harus dipecahkan oleh hermeneutik. Menurut pandangan yang kritis ini, hermeneutik yang toeritis maupun yang filosofis mangabaikan hal-hal di luar bahasa seperta kerja dan dominansi yang justru sangat menentukan terbentuknya konteks dan perbuatan[23]. Menurut Grondin, dengan pendekatan hermeneutik kritis ini akan menghancurkan ilusi-ilusi penafsiran, suatu hal yang besar yang gagal ditangkap oleh hermeneutik teoritis dan hermeneutik filosofis, sehingga bisa menyingkap tabir-tabir ideologis di balik teks[24]. Karena Foucolt melihat bahasa merupakan alat kontrol yang yang efektif antara satu orang dengan orang lainnya[25]
Aktivitas sistem peradilan pidana (Criminal Justice Sistem) identik dengan hermeneutik, namun penulis melihat hermeneutik yang masih mendominasi adalah hermeneutik teoritik dan filosofis, artinya hakim dalam memecahkan suatu persoalan selalu berusaha mencari makna obyektif dan universal dari undang-undang sebagai suatu teks, atau mencari makna baru (rekonstruksi) dari teks, sehingga teks (undang-undang) tetap masih diaffirmasi.
Kedua pendekatan hermeneutik-baik teoritis maupun yang filosofis-teks (Undang-undang) tetap masih diaffirmasi, dan hakim tidak akan pernah mau dan mampu melihat kekuatan lain di balik teks (undang-undang), baik dalam bentuk dominasi[26], maupun idiologis. Sehingga sering terlihat keputusan (undang-undang) yang dibuat membuat kekecewaan masyarakat, terutama keputusan yang berkenaan dimana hukum rakyat masih memperlihatkan eksistensinya[27]. Masyarakat tidak mendapat ruang yang sama dengan negara atau kelompok elit tertentu dalam sistem peradilan pidana, akibatnya masyarakat merasa perlu untuk memberdayakan sistem penyelesaian permasalahan yang sudah ada misalnya kekerasaan, dan kekerasaan dalam perspektif hermeneutik memiliki makna internal sebagai pengejawantahan rasa keadilan dari mereka yang melakukan kererasan tersebut.
Perselingkuhan antara penegak hukum dengan penguasa, kelompok elit tertentu, mereka yang “powerfull” tidak bisa dihindari, jika dalam proses penyelesaian suatu permasalahan hanya mendasarkan pada makna literal dalam undang-undang, sebab undang-undang merupakan manifestasi politik dari kelompok dominan atas kelompok yang “powerless”.
Penegak hukum hanya sebagai interpreter pasif, yang mengambil jarak antara interpreter, undang-undang dan justiabelen. Keadilan dimaknai sebagaimana yang diberikan oleh undang-undang melalui interpretasi yang formal sifatnya. Sedangkan makna keadilan sendiri syarat dengan berbagai fenomena subyektivitas para justiabelen. Undang-undang sangat terbatas dalam menyikapi setiap perubahan sosial yang terjadi, sehingga dapat dibayangkan jika undang-undang hanya dilihat dalam makna literal saja, maka sistem peradilan bukan institusi penyelesai persoalan dalam masyarakat, tetapi bahkan merupakan sumber masalah sosial.
Sangat berbeda jika pendekatan hermeneutik kritis, teks tidak diaffirmasi tetapi untuk mendemistifikasi, teks lebih banyak dicurigai sebagai bentuk dominasi, baik negara, atau elit tertentu atas rakyat, sehingga mampu menyibak kesadaran palsu yang muncul selama ini. Oleh karena itu jika pendekatan hermeneutik kritis ini digunakan dalam sistem peradilan pidana, maka persidangan akan menjadi tempat komunikasi yang mengarah kepada upaya transformasi keinginan bersama. Rakyat akan memperoleh tempat yang sama dimuka hukum, akibat lebih jauh masyarakat tidak akan menggunakan kekerasan sebagai metode penyelesaian setiap permasalahan yang muncul, dan merupakan konstruksi sosial dari pelaku utama terhadap realitas sosial[28]. Pengadilan tidak lagi mengkonsepkan hukum sebagai normologik, tetapi dikonsepkan sebagai suatu regularitas yang terjadi di alam pengalaman dan/atau sebagaimana yang tersimak di dalam kehidupan sehari-hari[29].
Keinginan untuk menjadikan setiap ilmu (termasuk Hukum) sebagai suatu bentuk ilmu pengetahuan yang komunikatif, adalah merupakan salah satu pemikiran dari Jurgens Habermas. Menurut Habermas, seorang penafsir –terutama dalam hermeneutik teoritik- sering menghadapi kesulitan untuk mencoba mengkomunikasikan antara dua pihak yang berbicara (sengketa-pen) dalam bahasa, simbol, aturan-aturan yang berbeda, kesulitan mana berasal dari factor eksternal penafsir itu sendiri, apalagi jika sampai mengarahkan pada saling pengertian intersubyektif. Tetapi tugas seorang interpreter adalah melakukan komunikasi yang mengarah pada “refleksi diri” [30].

D. Catatan Akhir

Bergesernya wacana lisan ke bentuk tulisan merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari, sebagai bentuk perkembangan peradaban manusia di atas muka bumi. Melalui tulisan manusia mampu menguap segala mesteri kehidupan, untuk menata kehidupan masa depan.
Karena sifatnya reduksionisme pada fakta, maka wacana tulisan sering menampilkan pragmentarisme kehidupan, kehidupan terlihat menjadi tidak utuh, kehidupan digambarkan sebagai yang sangat sederhana jika dibandingkan dengan kehidupan yang sebenarnya.
Demikian juga undang-undang, sebagai bentuk wacana tulisan sering menimbulkan permasalahan kemanusian, meskipun maksudnya untuk mengatasi persoalan kemanusia. Interpretasi menjadi penting dalam melihat undang-undang sebagai wacana tulisan. Hanya permasalahannya hermeneutik ataupun penafsiran yang dilakukan masih berkisar pada hermeneutik teoritis dan filosofis, belum beranjak ke hermeneutik kritis. Pengejaran kebenaran yang obyektif hanya merupakan reflikasi dari makna undang-undang itu sendiri, sehingga sering menimbulkan rasa ketidakadilan dalam masyarakat
Sangat berbeda jika undang-undang sebagai suatu teks tertulis didekati dengan hermeneutik kritis, maka interpretan (penegak hukum, misalnya) akan melihat segala dinamika, yang berkembang dalam masyarakat, serta makna yang ada dalam undang-undang tersebut, dan akan mengatasi kebekuan undang-undang serta mampu menguak kebenaran dari ketersembunyiannya dalam undang-undang.

DAFTAR BACAAN
Budi Hardiman F., Kritik Idiologi: Pertautan Pengetahuan Dan Kepentingan, penerbit Kanisius yogyakarta.
Budi Hardiman F., Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu, Masyarakat, Politik & Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Berger P & Luckmann, T, The Sosial Construction Of Reality: A Treatise In The Sosiologi Of Knowledge, Ny:Doubleday & Company, 1967
Berten, Dr. K. Filsafat Barat Abab XX, Penerbit Gramedia, Jakarta.
Donny Gahral Adian, Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer, Penerbit Jalasutra Yogyakarta, 2002.
Dragan Milovanovic, A Primer In The Sociology Of Law, Harrow And Heston Publisher, New York, 1994. hal. 51.
Matheus Pilin dan Edi Petebang, Hutan: Darah Dan Jiwa Dayak, diterbitkan oleh Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) Kalimantan Barat 1999.
Halliday. M.A.K. & Ruqaiya Hasan, Bahasa, Konteks, Dan Teks, Aspek-Aspek Bahasa Dalam Pandangan Semiotic Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994.
Ilham B. Saenong, Hermenutika Pembebasan, Metode Tafsif Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Penerbit Teraju, Jakarta 2002.
Malcom Waters, Modern Sociological Theory, Sage Publications, 1994.
Poespoprodjo, Dr. W L, Subjektivitas Dalam Historiografi, Penerbit Remadja Karya, Bandung, 1987.
Poespoprodjo Dr., Interpretasi, Remadja Karya, Bandung, 1987.
Pudentia MPSS (Editor), Metodologi Kajian Tradisi Lisan, Yayasan Obor Indonesia Dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, Jakarta, 1998.
Rizal Mustamsyir, Drs. Filsafat Analitik, Sejarah Perkembangan Dan Peran Para Tokohnya, Rajawali Press, Jakarta 1987.
Sutandyo Wignjosoebroto, Permasalahan Paradigma Dalam Ilmu Hukum Indonesia, makalah pada Simposium Nasional Ilmu Hukum , PDIH-INDIP, Semarang, 1998.b.
Syaifullah, Berjudul Kebijakan Di Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati (disertasi), Dipertahankan Di Hadapan Rapat Senat Terbuka Universitas Diponegoro Pada Tanggal 21 Maret 2003.
Sumaryono E, Hermeneutik, sebuah Metode Filsafat, edisi revisi Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Dr. SH. MH. Penafsiran Dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni,Bandug, Thn 2000.


* Penulis adalah dosen Fak. Hukum Universtias Tanjungpura Pontianak, dan sekarang sedang studi lanjut pada Program Doktor Ilmu Hokum Universitas Diponegoro Semarang
[1] Pendapat Prof. Satjipto Rahardjo, SH Tersebut Dikutip Dari Halaman Renungan Pada Ringkasan Disertasi Syaifullah Yang Berjudul Kebijakan Di Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati, Dipertahankan Di Hadapan Rapat Senat Terbuka Universitas Diponegoro Pada Tanggal 21 Maret 2003.
[2] Pudentia MPSS (Editor), Metodologi Kajian Tradisi Lisan, Yayasan Obor Indonesia Dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, Jakarta, 1998, 114.
[3] Drs. Rizal Mustamsyir, Filsafat Analitik, Sejarah Perkembangan Dan Peran Para Tokohnya, Rajawali Press, Jakarta 1987, Hal.85.
[4] M.A.K. Halliday & Ruqaiya Hasan, Bahasa, Konteks, Dan Teks, Aspek-Aspek Bahasa Dalam Pandangan Semiotic Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994.Hal.5
[5] Drs, Rizal Mustamsyir, Op Cit.
[6] Dr. K. Berten, Filsafat Barat Abab XX, Penerbit Gramedia, Jakarta, Hal.28.
[7] M.A.K. Halliday, Op Cit, Hal. 14.
[8] Dr. Poespoprodjo, Interpretasi, Remadja Karya, Bandung, 1987, hal 41.
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid, hal 111
[12] Sutandyo Wignjosoebroto, Permasalahan Paradigma Dalam Ilmu Hukum Indonesia, makalah pada Simposium Nasional Ilmu Hukum , PDIH-INDIP, Semarang, 1998.b.
[13] ibid
[14] lebih lanjut lihat Dr. W. Poespoprodjo, L, Subjektivitas Dalam Historiografi, Penerbit Remadja Karya, Bandung, 1987.
[15] Op Cit.
[16] Secara etimologis kata “hermeneutik” berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti ”menafsikan”. Maka kara benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi. Istilah ini mengingatkan pada tokoh mitologi Yunani yang bernama Hermes seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan yupiter kepada manusia. Lihat E. Sumaryono, Hermeneutik, sebuah Metode Filsafat, edisi revisi Penerbit Kanisius, Yogyakarta. hal. 23.
[17] Dr. poespoprdjo (a), op cit. hal 42
[18] Ilham B. Saenong, Hermenutika Pembebasan, Metode Tafsif Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Penerbit Teraju, Jakarta 2002, hal. 34-45
[19] Donny Gahral Adian, Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer, Penerbit Jalasutra Yogyakarta, 2002, Hal. 139.
[20] Dr. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, SH. MH. Penafsiran Dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni,Bandug, Thn 2000, Hal. 9
[21] F. Budi Hardiman, Kritik Idiologi: Pertautan Pengetahuan Dan Kepentingan, penerbit Kanisius yogyakarta, hal. 9-10.
[22] Op Cit.
[23] Ibid, hal. 43.
[24] Ibid, hal. 45
[25] Malcom Waters, Modern Sociological Theory, Sage Publications, 1994. Hal. 231
[26] Max Weber melihat ada tiga bentuk dominasi, yaitu Dominasi Tradisional (Traditional Domination), Dominasi Karismatik (Kharismatic Domination) dan Dominasi Hukum (Legal Domination), lebih jauh lihat Dragan Milovanovic, A Primer In The Sociology Of Law, Harrow And Heston Publisher, New York, 1994. hal. 51.
[27] Sebagai contoh bisa dilihat bagaimana keberadaan UUPA No. 5/1960 dan UU Kehutanan No, 5/1967, keberadaan dan dominasi negara atas rakyat sangat kuat, sehingga keberadaan hak ulayat rakyat atas pengelolaan hutan di abaikan. Lebih lanjut lihat Matheus Pilin dan Edi Petebang, Hutan: Darah Dan Jiwa Dayak, diterbitkan oleh Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) Kalimantan Barat 1999.
[28] Berger P & Luckmann, T, The Sosial Construction Of Reality: A Treatise In The Sosiologi Of Knowledge, Ny:Doubleday & Company, 1967
[29] Soetandyo Wignjosoebroto (a). Op cit
[30]F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu, Masyarakat, Politik & Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993. Hal. 48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar