Jumat, 18 November 2011

MEMBANGUN TEORI


MEMBANGUN ATAU MEREKONSTRUKSI SEBUAH TEORI
(BEBERAPA PEMAHAMAN DAN KESULITAN FUNDAMENTAL)*
Oleh: Hermansyah**
Pendahuluan:
Ada satu perbedaan fundamental antara skripsi, tesis, disertasi sebagai sebuah karya ilmiah (thesis writing) dari suatu penelitin yang dibuat dalam rangka menyelesaikan tugas akhir guna memperoleh gelar akademik pada pendidikan tinggi, yang secara umum memiliki ciri diantaranya mendalam dengan menggunakan teori sebagai pisau analisis, bersifat komprehensif, holistik dan integrated, tidak sekedar deskriptif, serta memberikan makna dan kontribusi positif bagi kehidupan manusia dan alam semesta dari segala aspek.
Dengan mengikuti jenjang gelar akedemik tersebut, jelas ada banyak perbedaan antara skripsi, tesis maupun disertasi, yang salah satunya bisa dilihat dari perspektif teori dan tujuan dari tulisan tersebut.
Dalam disertasi misalnya, salah tujuan yang hendak diperoleh tidak hanya mendeskripsikan fakta yang dilihat dan diamatinya, tetapi lebih jauh dari itu dalam disertasi biasanya bertujuan membentuk, membangun suatu teori, sebagai suatu kegiatan intelektual yang dilakukan sebagai upaya mengabstraksikan kembali semua temuan, amatan dan catatan agar bisa digunakan kembali untuk membaca realita dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Suatu proses yang tidak mudah untuk dilakukan.
Oleh karena itu, tataran ideal dan salah satu kekhasan tujuan dari sebuah disertasi dalam membangun sebuah atau paling tidak melakukan kritik sebuah teori atau untuk merevisi sebuah teori,[1] tidaklah mudah. Karena dibutuhkan kemampuan intelektual, pemahaman tentang apa itu teori sendiri, disamping banyak hambatan yang ada pada tujuan tersebut. Karenanya sering tujuan yang esensial dari penulisan disertasi untuk mengantarkan seorang memperoleh gelar akademik tertinggi sering tidak tampak dan tidak muncul dari disertasi tersebut.
Melalui tulisan yang singkat dan sederhana ini penulis tidak akan membahas secara tehnis pengertian, macam teori, tetapi penulis ingin mencoba menjelaskan secara sederhana bagaimana upaya membangun atau merekonstruksi sebuah teori dalam suatu penelitian, serta berbagai macam jebakan atau hambatan yang ada dalam usaha tersebut.
Teori Sebagai Mata Manusia
Dengan melihat makna teori secara sederhana[2] maka kiranya dapat dimisalkan teori sebagai mata manusia. Dengan teori inilah kita melihat bagaimana sesungguhnya yang terjadi dalam dunia nyata, termasuk bagaimana sesungguhnya relasi, interkoneksi, dependensi satu sisi dunia nyata dengan sisi lainnya. Karenanya, menjadi sangat penting untuk memilih dan memilah teori mana yang kiranya tepat untuk digunakan.
Namun demikian, teori mana yang kira tepat untuk digunakan dalam penulisan sebuah disertasi memang tidaklah sesederhana seperti kita melihat tumpukan sampah dengan mata kita. Situasi dan kondisi kesehatan kita tentunya juga akan berpengaruh pada kesehatan mata kita. Suatu analog yang penulis gunakan dibawah ini mungkin bisa menjelaskan dan mengatakan bahwa penggunaan teori sangat tergantung pada banyak hal, terutama paradigma yang digunakan.[3] Karena paradigma inilah yang pada dasarnya menjadi roh dari penelitian dan penulisan disertasi, dan berbagai persoalan yang muncul atau juga yang bisa dimunculkan seperti perbedaan bahasan, sampai pada simpulan yang berbeda merupakan suatu keniscayaan jika diurutkan ke atas, maka keniscayaan persoalan ini muncul sehubungan dengan perbedaan paradigma yang digunakan dalam melihat suatu fenomena sosial. Sebab perbedaan paradigma dengan sendirinya akan berpengaruh pada perbedaan konsep, teori, asumsi, dan kategori tertentu yang melatarbelakangi penelitian tersebut, dan oleh karenanya berujung pada perbedaan simpulan yang diambil.
Atas penjelasan sederhana tersebut, kiranya dapat dilihat dengan seksama bahwa teori terkadang menakutkan. Mengapa demikian, karena kesalahan dalam menggunakan teori maka hasil yang diperoleh biasanya sangat jauh dari apa yang diharapkan. Bahkan kesimpulan yang diambil dengan menggunakan teori yang salah menimbulkan atau memunculkan kesimpulan yang salah dan bahkan fatal. Sebagai contoh, bagaimana seseorang pada siang hari menggunakan kacama hitam, kemudian mengatakan : “hari akan hujan karena terlihat mendung”.
Atau ketakutan lain terhadap teori adalah sulitnya dipahami suatu teori, atau pemahaman yang dilakukan terhadap suatu teori sedemikian dangkal, sehingga substansi dasar, asumsi dasar dari teori tidak dipahami dengan baik. Bahkan kondisi dan setting social munculnya suatu teori atau suatu pemikiran menjadi penting, karena seperti diketahui teori merupakan langkah abstraksi terhadap realitas pada saat itu.
Atau mungkin ketakutan terhadap teori ini berkenaan dengan sulitnya suatu teori dipahami, dangkal, atau bahkan tak memiliki tujuan yang jelas. Terkadang pembaca teori-teori sosial (hukum-pen) tak mengerti apa sebenarnya yang mereka baca. Namun bagaimanapun teori sangat berguna dalam memahami sistem yang hendak didekati.
Khusus teori hukum yang memiliki basis social yang kuat, maka teori sosial sepantasnya berguna untuk mendekati sistem sosial. Konstruksi teori adalah sebuah tahapan dari seluruh pekerjaan dan metodologi ilmiah. Teori lahir dari serangkaian perjuangan yang menggunakan akal sehat, dari para ilmuwan. Teori sosial adalah teori yang tak menggunakan kelinci sebagai obyek percobaan, tak pula memiliki larutan kimia atau proposisi logika yang hendak dipermainkan sedemikian oleh para ilmuwan sebagaimana para fisikawan, kimiawan, atau matematikawan. Teori sosial berada di area gejala yang terlihat di siang hari selama riset dan malam hari menjadi bahan perenungan para ilmuwan sosial. Mungkin boleh-boleh saja para ilmuwan memodelkan aktivitas manusia sebagai aktivitas elektron, dan berbagai benda-benda elementer yang unik sebagaimana yang didekati para fisikawan, namun yang pasti elektron memiliki rule dan hukum yang jelas yang selalu dipatuhi olehnya. Aktivitas sebuah elektron akan jelas jika berada di dalam medan listrik positif atau negatif, namun tingkah laku manusia tidak mengikuti rule atau hukum se-teratur elektron. Manusia jauh lebih liar, tingkah lakunya berada di dalam lingkaran chaotik yang pendekatan sederhana tak akan mampu mendekatinya. Meski ini kedengaran sebagai sebuah apologia bagi teoretisi sosial, atas kerumitan yang dikandung konstruksi ilmiah teori sosial, namun ini bukanlah hal yang mudah untuk menerima kesulitan yang timbul saat memahami sebuah teori sosial. Dalam proses pemikiran teoretis beberapa hal bisa menjadi salah dan ini menjadi hal yang membingungkan.
Kesulitan lain berkenaan teori social yang digunakan dalam menjelaskan fenomena dan realitas hukum dikarenakan adanya berbagai perangkap pemikiran teoritis yang bisa menjebak ketika teori tersebut ingin digunakan. Diantaranya adalah:
1. Asumsi Kealaman.
Terinspirasi oleh kemajuan dan kehebatan teori dalam ilmu alam, menjadikan para pemikira dalam bidang ilmu social-juga akhirnya bagi ilmu pengetahuan hukum-melirik, melihat bahkan mengambil dengan begitu saja semua asumsi pemikiran dalam ilmu alam untuk kemudian digunakan dalam menjelaskan fenomena social, yang dalam banyak hal memiliki perbedaan esensial dan substansial dengan dunia kealaman.
Cara berpikir linier adalah salah satu cara berpikir yang khas dan merupakan cirri yang tampak dan utama dalam semua teori yang berasal dari kealaman. Dengan menggunakan cara berpikir yang linier ini, maka hukum keharusan, kemestian, atau keniscayaan menjadi pilar utama dalam setiap teori social yang menggunakan nuansa kealaman dalam melihat fenomena social.
Bahwa kehidupan social bisa mengikuti asumsi kelinieran tersebut, merupakan suatu realitas dan kemungkinan. Tetapi realitas social juga terkadang terlihat tidak sesederhana seperti linieritas kehidupan tersebut. Acak, tidak menentu (atau dalam bahasanya Sampord dikenal social mele atau Chaos). Pada sisi inilah yang perlu memperoleh perhatian yang cukup hati-hati bagi seseorang yang akan menggunakan suatu teori dalam upaya melihat, menjelaskan, memaparkan ataupun membangun sebuah teori atas teori lain yang dinilainya tidak tepat lagi.
Kondisi seperti dan cara berpikir yang linier ini, maka aktivitas ilmuwan sosial dalam melakukan sebuah penelitian seringkali (sebagaimana ilmuwan ilmu alam) berupaya untuk melakukan manipulasi beberapa aspek sosial yang diisolasi dalam beberapa situasi eksperimental untuk memuaskan sebuah paradigma. Ini seperti permainan teka-teki silang: kotak-kotak telah ada sedemikian dan kita mengisi kotak-kotak kosong itu dengan petunjuk yang ada sebagai pertanyaan dari teka-teki silang tersebut. Kompleksitas yang ada di kawasan sistem sosial seringkali tak disadari dan hal ini memberikan upaya untuk mengejar metanarasi dalam ilmu sosial yang akhirnya melahirkan reduksi, mereduksi kompleksitas menjadi sekumpulan konsep teoretis yang tak bisa berbunyi apa-apa di tataran praksis, sehingga mandul dalam upayanya meramalkan-yang juga salah satu dari cirri ilmu pengetahuan-kondisi social kedepan.
2. Jebakan Sekunder
Begitu kuatnya cara berpikir linier dalam melihat sebuah fenomena social, menjadikan para peneliti terjebak ke dalam penjelasan sekunder ke hal lain yang jauh dari permasalahan yang seharusnya didekati. Apa-apa yang dilakukan misalnya, menjelaskan keterkaitan satu fenomena dengan fenomena lainnya sesungguhnya bukan merupakan hal yang utama atau primer tetapi hal-hal yang jauh dari permasalahan yang sedang dihadapi dalam realitas social itu sendir. Atau dengan kata lain, penjelasan tersebut bersifat sekunder.
Mungkin hanya sebagai contoh tentang hal ini adalah bagaimana perdebatan pengertian “kemiskinan”, suatu hal yang jauh dari kemiskinan yang benar-benar terjadi dalam realitas sosial. Ini tentu dapat dikatakan terjadi dari berbagai faktor semiologis tekstual sebagai rahim dari segala bentuk teori.
Oleh karena itu, boleh jadi apa yang dilakukan seseorang peneliti adalah sesuatu yang aneh, sebab pada mulanya sebuah teori berupaya mencari koherensi logis dari berbagai fakta atau bagian-bagian yang hendak didekati oleh ilmu social, namun sang peneliti dan teoretisi sosial menemukan faktor membrojol yang tak diduga-duga sebelumnya bakal muncul dalam realitasnya – sekaligus, inilah yang menjadi kelemahan teori sosial bersangkutan.
3. Deskripsi yang Menyesatkan
Dengan tidak berusaha masuk lebih jauh tentang perbedaan-perbedaan esensial antara deskripsi dan penjelasan dalam suatu teori, maka perbedaan kedua terma tersebut bisa dengan jelas dilihat. Deskripsi lebih merupakan kegiatan memotret realitas social apa adanya, asli tidak lebih dan tidak kurang dengan realitas sesungguhnya. Sedangkan penjelasan (explain) merupakan kegiatan intelektual dalam melihat potret kehidupan tersebut secara rinci, antara satu unit dengan unit lainnya, antara satu block dengan block lainnya. Atau antara satu unit, block dengan banyak unit dan banyak block.
Bertolak dari perbedaan sederhana antara deskripsi dengan penjelasan tersebut juga, biasanya apa yang dilakukan dalam konstruksi sebuah teori sosial ternyata keliru, hal ini ditemui saat dilakukan upaya implementatif dari teori tersebut.
Sangat sering ilmuwan sosial merasa sudah menjelaskan sesuatu padahal sebenarnya hanya melakukan deskripsi, yang berakibat teori tersebut tidak mengatakan apa-apa. Teori sosial seringkali hanya melakukan deskripsi tanpa menjelaskan.
Catatan Akhir
Akhir dari pemaparan yang singkat dan sederhana ini, penulis ingin memberikan beberapa catatan yang masih sumir tentang pembentukan, atau hanya sekedar rekonstruksi sebuah teori, dengan melihat berbagai dimensi yang ada pada sebuah teori. Diantaranya, dimensi kognitif, afektif, reflektif dan dimensi
Untuk mencegah kita terjebak dalam perangkap-perangkap teoretik, kita akan mencoba mendiskusikan dimensi-dimensi ilmu sosial. Pada dasarnya, dikenal empat jenis dimensi dalam pendekatan teori sosial.
Dalam dimensi kognitif ini, seorang peneliti dalam bidang ilmu social-termasuk peneliti dalam bidang ilmu hukum- akan selalu berbicara mengenai teori sosial sebagai cara untuk membangun pengetahuan tentang dunia sosial. Di sini terletak epistemologi yang membangun berbagai metodologi penelitian sosial.
Berbeda dengan dimensi kognitif, dalam dimensi afektif, keinginan membangun atau merekonstruksi sebuah teori social hukum seyogyanya terbangun dimana di dalamnya memuat pengalaman dan perasaan dari teoretisi yang bersangkutan. Dimensi ini mempengaruhi keinginan untuk mengetahui (to know) dan menjadi benar (to be right) – kedua hal ini bertitik berat kepada kejadian tertentu dan realitas eksternal.
Terakhir dari dimensi yang ada yaitu dimensi reflektif dari sebuah teori yang akan dibangun atau direkonstruksinya adalah teori tersebut harus menjadi bagian dari dunia sebagaimana ia menjadi cara untuk memahami dunia. Dengan kata lain, teori sosial harus mencerminkan apa yang terjadi di luar sana dan apa yang terjadi pada kita sebagai salah satu elemen dari sistem sosial yang ada. Dalam dimensi ini, teori sosial sepantasnya memuat secara implisit ataupun eksplisit tentang bagaimana seharusnya dunia yang direfleksikannya itu.


* Makalah ini dibuat dalam rangka SEMILOKA tiga hari tentang Penelitian Ilmu Hukum Kualitatif, pada tanggal 3-5 Desember 2007
** Penulis Adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijawa Malang, Jawa Timur.
[1] Jika yang dimaksud dengan membangun sebuah teori seperti sebagaimana yang dimaksud membangun sebuah teori yang sama sekali baru (genuine theory), bermula dari yang tiada ke yang ada, hamper-hampir tidak mungkin. Meskipun terkadang kelihatannya seperti itu, tetapi sesungguhnya munculnya teori baru selalu didasari oleh puing-puing kehancuran teori sebelumnya yang secara sporadic di hantam, di dekonstruksi, untuk kemudian direkonstruksi kembali. Artinya bagaimanapun tidak bermanfaatnya lagi suatu teori dan itu sudah dibuktikan, tetapi teori tersebut tetap memiliki andil yang cukup besar dalam membangun teori baru di atas puing-puing dan kehancuran teori tersebut.
[2] Secara sederhana teori bisa berarti menjelaskan, terutama menjelaskan hubungan, pengaruh timbal balik antara berbagai kisi dari realitas kehidupan.
[3] Pengertian paradigma yang diberikan oleh para ahli cukup banyak. Thomas Khun, sebagai orang yang dinilai mempopulerkan terma tersebut “disciplinary matrix”, yakni suatu pangkal, wadah, tempat, cetakan, atau sumber di/dari mana suatu disiplin ilmu pengetuan dianggap bermula, berasa, berakar, dicetak, bersumber/mengallir, atau dijadikan. Lihat Karya Thomas Khun ini tertuang dalam: The Structure Of Scientific Revolution, Chicago University Press, 1962, 2rd ed.1970. Sedangkan Neuman memaknai paradigma serupa dengan “pendekatan” atau “approach” maupun tradisi. Dalam kaitan ini, istilah paradigma menurut Neuman merupakan keseluruhan sistem berpikir atau “system of thinking” yang meliputi asumsi dasar atau teori (research question) yang harus diJawab atau teka-teki (ilmiah) yang hendak dipecahkan, berbagai teknik atau metoda penelitian yang akan diterapkan, serta beraneka contoh bagaimana sebenarnya penelitian ilmiah yang baik itu. Lihat W.L. Neuman, Sosial Research Methods dalam Erlyn Indarti, “Legal Constuctivism: Paradigma Baru Pendidikan Hukum dalam Rangka Membangun Masyarakat Madani”, Majalah Masalah-Masalah Hukum Vol.XXX No.3 Juli-September 2001. Hal139-153. Dari beberapa pendapat tersebut, penulis lebih cenderung pada paradigma sebagaimana dikemukakan oleh Guba dan Lincoln, yang memaknai paradigma sebagai “set of basic beliefs” atau kenyakinan dasar sebagai sistem filosofis utama, induk atau “payung”, yang meliputi ontologi, epistemologi dan metodologi yang lebih mencerminkan dasar-dasar kefilsafatan dari suatu ilmu pengetahuan. Meskipun demikian “set of basic beliefs” tersebut merupakan konstruksi manusia (human construction). Lihat Guba dan Lincoln, “Competing Paradigms In Qualitative Research”, di dalam N.K. Danzin dan Y.S. Lincloln (Ed), Handbook of Qualitative Research, Sage Publication, London, 1994. Hal.108.

1 komentar: